"..Buku ini sya temukan (beli maksudnya..) saat 'iseng-iseng berhadiah' jalan-jalan ke Toga Mas. Sebenarny novel-bio ini sdh masuk list incaran sya 1th yg lalu, cuma waktu itu memang ndak niat beli, eh.. malah kebetulan ketemu . Alhamdulillah sdh katam sya baca dan ternyata resensi yg menuliskan bhw buku ini 'good' untuk dinikmati memang tdk berlebihan.
Cocok bagi anda yang berkutat di bidang Kedokteran, Klinis , Psikologi, Filsafat, Sastra, serta Agama karena sang as-syaikh ar-rais ini memberi kita banyak pelajaran akan pentingnya makna hidup dan betapa berharganya jika kita mampu hidup bermanfaat di masyarakat..
So..,selamat menikmati bacaan ini.."
Berikut sdikit ringkasannya :
Menyimak perjalanan hidup Ibnu Sina yang penuh dengan getir di ujung kemapanan ketika ia berada di balik naungan tembok istana merupakan sebuah pengalaman yang menggoreskan kesan mendalam. Novel biografi filsuf ternama ini—yang memiliki sejumlah julukan antara lain: Hujjah al-Haqq, Syaraf al-Malik, Mashdar Tasis, ad-Dustur, Aristhu al-Islam, Faylasuf ad-Dahr, dan as-Syaikh ar-Rais (hlm. 282)—membawa kita mundur ke sepuluh abad lalu, menelusuri jejak-jejak kejayaan Persia (Iran) yang tidak kalah hebatnya dengan peradaban Eropa.
Kedigdayaan Persia bukanlah sesuatu yang dilebih-lebihkan, tetapi memang demikian besar pengaruhnya terhadap dunia. Kejayaan membawa para penguasanya dikelilingi harta yang berlimpah di satu sisi, namun sisi lain ada konsekuensi yang harus ditanggung, yaitu perebutan kekuasaan. Pejabat teras kerajaan yang serba permisif bukanlah sosok-sosok yang dibuat-buat, namun hadir secara alamiah. Di samping penguasa yang berhati bersih, selalu ada sosok yang berhati kotor pengincar kekuasaan. Fenomena hadir di setiap kali Ibnu Sina memasuki sebuah istana sebagai tujuan pelariannya. Faktor itu pula yang membuatnya terpaksa meninggalkan kemapanan hidupnya.
Dalam novel ini, Ibnu Sina—yang dipanggil dengan nama Abu Ali—merupakan satu dari segelintir anak jenius yang terlahir ke dunia. Kejeniusannya tersebut telah terlihat semenjak usia yang masih begitu belia. Ia dibawa ayahnya untuk berguru pada sejumlah syekh besar untuk menimba ilmu. Gurunya yang pertama adalah Syekh Nahawi. Sebagaimana anak-anak di negara muslim lainnya, Abu Ali pertama kali diperkenalkan pada ilmu agama. Ia adalah seorang penghafal al-Qur’an (hafizh) yang luar biasa. (Hlm. 15.)
Setelah paham akan ilmu agama, ia pun berguru pada Syekh Massah yang menguasai ilmu matematika. Abu Ali merupakan murid syekh yang termuda dan sering kali mengundang kekaguman gurunya tersebut dengan kemampuannya memecahkan berbagai persoalan. (Hlm. 21).
Guru Abu Ali yang selanjutnya adalah Syekh Abu Abdillah an-Natili, seorang Ahli Ilmu asal negeri Tibristan, seorang ahli logika, filsafat, dan hikmah. Boleh dibilang, inilah awal perkenalan Abu Ali dengan filsafat yang berakar dari Yunani. Penguasaannya akan ilmu tersebut membuatnya dijululi Aristoteles Muslim.
Dahaga Abu Ali akan ilmu pengetahuan tidak juga terpuaskan. Ia mulai mempelajari ilmu kedokteran secara otodidak. Tidak hanya sebatas teori, dia mampu menerapkan ilmunya secara sempurna.
Pasien pertamanya adalah ibu kandungnya yang sakit dan tidak kunjung sembuh dikarenakan dokter yang memeriksanya selalu salah mendiagnosis penyakitnya. Pasiennya yang kedua adalah tetangganya yang miskin dan sakit parah. Abu Ali pun mampu menangani sakit tersebut.
Kehebatan Abu Ali perlahan-lahan terdengar sampai ke istana. Ia diminta untuk mengobati Raja Nuh II yang sakit misterius. Ia melampaui kemampuan dokter pribadi raja yang itu juga menjadi pemicu kebencian terhadap dirinya.
Kehebatan Abu Ali perlahan-lahan terdengar sampai ke istana. Ia diminta untuk mengobati Raja Nuh II yang sakit misterius. Ia melampaui kemampuan dokter pribadi raja yang itu juga menjadi pemicu kebencian terhadap dirinya.
Sebagai balasan atas jasanya, Abu Ali meminta akses penuh untuk memasuki Perpustakaan Samaniyin, yang memiliki koleksi buku terlengkap di negeri Persia. Tidak hanya semakin mempertajam wawasan seputar kedokteran, Abu Ali juga mempelajari fiqh, sastra, dan musik. (Hlm. 49).
Kedekatan Abu Ali dengan penguasa tidak membuatnya bernafsu untuk mendapat posisi tinggi, justru pejabat istanalah yang merasa keberadaan Abu Ali sebagai ancaman yang patut disingkirkan. Dengan sebuah fitnah kejam, ia pun didepak begitu saja.
Dalam novel ini, pembaca diajak untuk mengetahui rute hijrah Abu Ali demi mencari tempat yang benar-benar aman untuk dirinya dan juga sang istri, Jasmine. Sayangnya, tidak ada tempat yang benar-benar mampu menjanjikan kenyamanan secara permanen. Konflik-konflik politik selalu membuatnya resah dan tidak bisa mempercayai penguasa mana pun juga.
Dalam novel ini, pembaca bisa mengetahui bahwa Abu Ali sangat membenci otoritas Turki Ustmaniah karena satu hal, berbeda prinsip. Inilah yang dikatakannya mengenai Sultan Mahmud Ghaznawi:
“… Mahmud adalah orang yang fanatik dan egois. Ia menganggap, hanya agamanya yang benar, dan ia memaksakan kehendaknya pada semua orang dengan cara-cara kekerasan, agar mereka mengikuti agamanya. Padahal, saya adalah orang yang sangat mencintai keluarga Nabi (ahl al-bayt) dan saya tidak akan melepaskan keyakinan dan keimanan saya ini, untuk selamanya….” (Hlm. 103).
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Abu Ali adalah seorang penganut Syi’ah yang berseberangan pemikiran dengan para penguasa muslim beraliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun, pembaca tidak dibawa lebih jauh oleh Husayn Fattahi mengetahui pemikiran-pemikiran Abu Ali dalam hal akidahnya. Penulis lebih banyak menitikberatkan pada sosok Abu Ali sebagai seorang dokter yang mampu mengobati berbagai macam penyakit.
Perjalanan hidup Abu Ali mulai menuju titik puncaknya setelah dijebloskan ke Penjara Fardajan yang terletak di dalam wilayah Hamdan yang dikelilingi tujuh lapis benteng. Di sana, Abu Ali mampu menyelesaikan sejumlah tulisan, antara lain Dalil al-Aql, Hayy ibn Yagzhan, dan Al-Qadha wal Qadr. Tembok penjara memang tidak mampu memutuskan kreativitasnya sebagai seorang ilmuwan untuk terus menelurkan karya.
Situasi politik yang bergejolak membuat berbagai kejadian pilu menimpanya, mulai dari naskah-naskahnya yang diambil secara paksa hingga istrinya yang terpaksa kembali ke tangan majikan lamanya yang tidak lain adalah Khalifah Al-Qadir Billah dari Baghdad. Kepergian Jasmine seakan ikut membawa separuh semangat hidup Abu Ali hingga malaikat maut mencabut nyawanya dalam situasi peperangan.
Ibnu Sina adalah sosok kontroversi. Di satu sisi, ia adalah tokoh yang berjasa mengembangkan ilmu kedokteran di Timur Tengah, namun pandangan-pandangannya yang terpengaruh ajaran Yunani membuatnya dicap sebagai orang yang menyangkal kekuasaan mutlak Tuhan.
Sebagai sebuah bacaan di waktu senggang, novel Tawanan Benteng Lapis Tujuh ini tentu dapat menjadi salah satu buku pilihan yang tepat. Namun, jika Anda seorang pencinta sejarah Islam sejati, novel ini rasanya terlalu dangkal dan kurang mewakili sosok Ibnu Sina yang sebenarnya. Tidak percaya? Silakan buktikan sendiri!
penerbitzaman.com ~semoga bermanfaat~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar