Perbedaan signifikan antara masa SMA dengan bangku
perkuliahan adalah pada proses belajar akademiknya. Pembelajaran pada bangku
perkuliahan lebih cenderung pada pemahaman dan aplikasi sesuai dengan jurusan
dan kematangan karir yang dipilih, sedangkan pembelajaran tingkat SMA lebih
cenderung pada kegiatan belajar untuk mencapai suatu standar kompetensi dalam
jangka waktu tertentu.
Dalam dunia pendidikan formal,
pentingnya pengukuran prestasi akademik tidaklah dapat disangsikan lagi.
Sebagaimana diketahui, proses pendidikan formal adalah suatu proses yang
kompleks yang memerlukan waktu, dana dan usaha serta kerjasama berbagai pihak.
Berbagai aspek dan faktor terlibat dalam proses pendidikan secara keseluruhan.
Tidak ada pendidikan yang secara sendirinya berhasil mencapai tujuan yang
digariskan tanpa interaksi berbagai faktor pendukung yang ada dalam sistem
pendidikan tersebut.
Betapa jelasnya pun suatu
tujuan pendidikan telah digariskan, tanpa usaha pengukuran maka akan mustahil
hasilnya dapat diketahui. Tidaklah layak untuk menyatakan adanya suatu kemajuan
atau keberhasilan program pendidikan tanpa memberikan bukti peningkatan atau
pencapaian yang diperoleh. Bukti peningkatan atau pencapaian inilah yang harus
diambil dari pengukuran prestasi secara terencana.
Mencapai standar kompetensi pada
berbagai mata pelajaran berarti merupakan sebuah tuntutan prestasi. Tuntutan
prestasi artinya menjadi sebuah tekanan bagi seluruh siswa dan setiap siswa
pasti memiliki cara yang berbeda - beda untuk dapat memenuhi tuntutan atau keluar
dari tekanan ini. Proses untuk dapat keluar dari tekanan inilah yang sedikit
banyak dapat menciptakan mindset, kecerdasan emosi, atau kematangan
mental bagi setiap siswa.
Tahap kecerdasan emosi atau kematangan mental menjadi sangat penting bagi seorang
individu, terlebih dalam menjalani kehidupan sehari - hari. Menurut Mohd Najib
(2000), emosi merupakan sesuatu kebangkitan diri seseorang terhadap suatu hal
atau reaksi terhadap keadaan yang
dialami. Emosi, perasaan dan nilai juga menjadi sesuatu yang penting dalam
kehidupan seseorang untuk
menentukan pencapaian dan keadaan hidupnya (Ediger (1997) dalam Razali (2004)). Bila dikaji dengan lebih mendalam lagi, perasaan
dan emosi adalah penting untuk kesejahteraan dan
kebahgiaan serta keselarasan dalam kehidupan. Oleh karena itu , kecenderungan dalam mengawal emosi dengan baik
adalah faktor penentu kecemerlangan atau
keberhasilan baik secara personal maupun professional (Goleman, 1995).
Fungsi kecerdasan emosi atau
kematangan mental sendiri, menurut
Golemen (1995) bagi seseorang individu adalah merupakan faktor utama kepada penentuan kesuksesan
seorang individu, terutama pelajar.
Dalam bukunya, Emotional Intelligence, menurut Goleman (2000:44), kecerdasan intelektual
(IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan,
sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional
Quotient (EQ) yakni kemampuan
memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta
kemampuan bekerja sama.
Ini jelas
menunjukkan bahwa tahap Emotional Quotient (EQ) yang baik adalah faktor
yang amat dititkberatkan dalam
kehidupan seseorang individu yang berhasil (Zainuddin, 2000). Keberhasilan dalam
suatu bidang juga dapat membantu remaja membentuk harga diri mereka yang
positif (Bednar, 1989, dalam :
Habibah, 1997).
Keseimbangan
antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di
sekolah bukan hanya perl mengembangkan rational intelligence yaitu model
pemahaman yang lazimnya dipahami
siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa
. Hasil
beberapa penelitian di University of
Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku
oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan
keberhasilan individu dalam prestasi belajar
membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi magresivitas,
khususnya dalam kalangan remaja (Goleman, 2002:17).
sumber : makalah B.Indo, Pengaruh Tuntutan Prestasi terhadap Kematangan Mental Pelajar SMA, M. Reza Putra (F100104016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar