Pengaruh usia ketika balita terhadap masa kedewasaan seorang anak sungguh amat besar. Apa yang dialami anak dalam umur balita biasanya cesara dominan membentuk kepribadian anak tersebut di masa dewasanya.
Karena itu, awasilah pendidikan anak agar jangan tersesat oleh tangan jahat kaum iblis. Mereka punya cara yang licik untuk menyelewengkan anak dari jalan kebaikan. Tanyakanlah kepada anak-anak setiap mereka pulang sekolah, apa yang mereka alami dan pengalaman apa saja yang mereka dapatkan hari ini. Niscaya dengan demikian, selain mempererat hubungan orang tua dan anak, juga dapat mengetahui kondisi anak selama di bangku sekolahnya.
Satu contoh, sebuah perilaku menyesatkan yang dilakukan oleh seorang ibu guru tidak bertuhan kepada anak didiknya di taman kanak-kanak. Setelah anak-anak dengan rapi duduk di bangku masing-masing, berkatalah Bu Guru, “Selamat pagi anak-anak.”
“Selamat pagi ..,” jawab mereka serempak.
“Kalian tadi di rumah sudah berdoa?”
“Sudah...”
“Kepada siapa kalian berdoa?”
“Kepada Tuhan.”
“Nah,” kata Bu Guru. “Sekarang kita ingin tahu apakah Tuhan mengabulkan doa kita atau tidak. Ayo, anak-anak, semuanya angkat tangan ke atas dan pejamkan mata kalian. Lalu ikutilah doa Bu Guru.”
Setelah semua murid melakukan apa yang di suruhkannya, Bu Guru pun berkata, “Ya, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Berilah kami peremen coklat sebungkus tiap orang.”
Anak-anak gembira, karena kali ini berdoa minta peremen dari Tuhan, mereka serentak mengikuti ucapan gurunya.
Kemudian Bu Guru berkata, “Nah bukalah sekarang mata kalian. Ada permen tidak di depanmu?”
Memang tidak ada permen di situ. Jadi anak-anak menjawab, “Tidak ada...”
Lalu Bu Guru berkata lagi, “Tibalah saatnya kita berdoa kepada Bu Guru. Pejamkan mata, angkat lah tangan kalian masing-msing, buka telapak tangannya, lantas tirukan ucapan Bu Guru.”
Anak-anak menurut. Mereka mengikuti perkataan gurunya, “Wahai, Bu Guru yang tercinta. Berilah kami permen coklat seorang satu bungkus.”
Segera Bu Guru berjalan berkeliling mendatangi murid-muridnya sambil meletakkan sebungkus permen coklat di telapak tangan mereka satu demi satu. Sesudah kebagian semua, Bu Guru pun berkata, “Bukalah mata kalian sekarang. Ada permen tidak?”
Anak-anak dengan suka cita menjawab, “Ada...”
Bu Guru kemudian bertanya, “Jadi, manakah yang pelit, Tuhan tau Bu Guru?”
Anak-anak tanpa bimbang menyahut, “Tuhan...”
“Mengapa kamu berpendapat seperti itu?”
Mereka menerangkan, “Sebab Tuhan dimintai permen coklat tidak memberi dan Bu Guru dimintai permen coklat langsung memberi.”
Bu Guru dengan bangga, karena siasatnya berhasil, lantas menjelaskan, “Anak-anak. Hal itu bukannya karena Tuhan pelit. Sebabnya cuma satu, lantaran Tuhan memang tidak ada, jadi tidak bisa memberi permen coklat meskipun diminta seribu kali.
Tentu saja anak-anak mengangguk-angguk. Belum sampai pikiran mereka untuk mendebat ucapan Bu Guru. Bahwa pada hakikatnya karunia dan kasih sayang Tuhan tidak bisa diukur secara lahir, melainkan terasakan dalam hati dan jiwa yang beriman. Sebab tidak semua rezeki bersifat materi, teraba oleh pancaindera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar