"Bismillahiraahmanirrahim.., Perjuangan itu dirintis oleh orang-orang yg ALIM, diperjuangkn oleh orang-orang yg IKHLAS, dan dimenangkan oleh orang orang yang PEMBERANI.."

Suka Blog Ini..?

Senin, 29 April 2013

Serdadu Kumbang dalam Perspektif Psikologi Sekolah (Bag 3/6)




Alhamdulillah, ini adalah analisis ke dua saya mengenai film Serdadu Kumbang. Analisis kali ini adalah tentang kultur sekolah yang sudah umum terjadi di Indonesia. Kultur sekolah dalam hal ini terbagi menjadi dua yaitu “resistance culture” dan “pemberian stereotipe”. Kedua hal ini mungkin biasa dilakukan di sekolah-sekolah, namun secara tidak langsung ternyata berdampak cukup besar bagi siswa. Tentu kedua hal ini patut menjadi sorotan seorang psikolog sekolah agar dampak negatifnya dapat diminimalisir. Oke apa saja penjelasan mengenai kultur sekolah adalah sebagai berikut. This is it…


Analisis 2
Kultur Sekolah
Salah satu bentuk kultur sekolah adalah adanya “Resistance Culture” yakni menjudge / memberi prasangka kepada seseorang berdasarkan budaya. Salah satu contoh nyata dari resistance culture yang sering terjadi di masyarakat adalah anggapan bahwa seorang wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya mereka hanyalah akan menjadi ibu rumah tangga.

Nah, resistance culture yang berbeda juga beberapa kali turut mewarnai film ini. Dalam salah satu adegan, Ibu Amek tak segan menyuruh Amek untuk berhenti sekolah saja jika si Amek kerjaannya hanya menonton TV. Juga saat Amek dan kawan-kawannya membolos, mereka lebih memilih mencari ikan dan berenang daripada belajar di sekolah, meskipun pada akhirnya mereka didatangi oleh bu Guru Imbok untuk diberi nasihat bahwa meski kelak mereka menjadi nelayan, peternak, atau apapun bukan berarti sekolah itu tidak penting.

Meski demikian, dalam film ini memperlihatkan bahwa Amek dan kawan-kawan bukanlah orang yang meremehkan sekolah. Mereka memiliki cita-cita yang tinggi dan berani mengungkapkannya dengan antusias kepada guru apa cita-cita mereka dan alasan mengapa mencita-citakan profesi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa resistance culture beberapa kali ada namun tidak terlalu mencolok di film ini. Bahkan boleh dikatakan pola pikir Amek dan teman-teman sudah sangat baik mengenai pentingnya sekolah dan pentingnya meraih cita-cita.

Amek dkk rajin menuliskan & menggantungkan cita-cita mereka
di atas pohon


Selain resistance culture, termasuk kultur sekolah adalah “Setereotipe”yakni mensematkan lebel dan beban tertentu kepada beberapa pihak. Contoh yang sering ada di sekolah Indonesia yaitu label 'anak paling nakal' dan label 'anak paling cerdas'. Label-label ini (positif/negatif) sedikit banyak tnetu dikhawatirkan dapat membebani siswa yang bersangkutan sehingga menghambat perkembangan mereka secara optimal.

Pemberian stereotipe cukup terlihat dalam film ini. Label yang diberikan kepada beberapa anak adalah label siswa paling pintar (juara) dan label siswa paling nakal. Label siswa paling pintar diberikan kepada kakak Amek yakni Minun. Pada saat upacara sang kepala sekolah memuji Minun di depan semua murid dan berharap besar bahwa Minun akan mampu lulus Ujian Nasional sekaligus mendapatkan beasiswa. Minun terlihat bangga saat dipuji, namun mungkin pujian ini juga yang kelak menjadi beban tersendiri. Di akhir kisahnya, Minun yang tidak lulus ujian nasional merasa sangat tertekan sehingga ia melakukan hal yang membuat nyawanya terengut. Tertekannya Minun patut menjadi sorotan karena hal ini mungkin diakibatkan rasa bersalah sebagai siswa pintar yang tidak mampu lulus ujian nasional, dan juga disertai perasaan kecewa karena ia merasa cita-citanya tidak akan tercapai lantaran tidak lulus UN.

pak Alim menghukum Amek dkk hanya karena prasangka 
yang belum tentu kebenarannya


Sedangkan stereotipe anak nakal disematkan kepada Amek dan dua orang temannya, dan secara umum kepada anak-anak di kelas Amek. Kenakalan yang mereka lakukan hanyalah sebatas membolos sekolah, terlambat, atau pernah kepergok mencuri timun di rumah tetangga yang terkenal pelit, meskipun pada akhirnya mereka bisa disadarkan oleh Papin. Seringnya mereka nakal dan dihukum menjadikan stereotipe atau label bahwa mereka adalah anak nakal. Sampai suatu ketika terjadi kejadian yang tidak disengaja yaitu patahnya kursi Pak Alim saat akan mengajar kelas Amek. Pak Alim bersikeras menyangka bahwa itu pasti karena ulah jahil Amek dan kawan-kawan sehingga seluruh kelas dihukum tidak boleh mengikuti ulangan. Hingga akhirnya Amek terpaksa berbohong bahwa ia yang melakukan hal tersebut semata agar teman-temannya bisa mengikuti ulangan harian. Setelah diusut, ternyata memang kursi di kelas sering patah dan kejadian tadi bukanlah kesengajaan para murid.

Alhamdulillah semoga bisa kita ambil hikmahnya, to be continued... ^^ 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar