Alhamdulillah, ini
adalah analisis ke dua saya mengenai film Serdadu Kumbang. Analisis kali ini
adalah tentang kultur sekolah yang sudah umum terjadi di Indonesia. Kultur
sekolah dalam hal ini terbagi menjadi dua yaitu “resistance culture” dan “pemberian
stereotipe”. Kedua hal ini mungkin biasa dilakukan di sekolah-sekolah, namun
secara tidak langsung ternyata berdampak cukup besar bagi siswa. Tentu kedua
hal ini patut menjadi sorotan seorang psikolog sekolah agar dampak negatifnya
dapat diminimalisir. Oke apa saja penjelasan mengenai kultur sekolah adalah
sebagai berikut. This is it…
Analisis
2
Kultur
Sekolah
Salah satu bentuk
kultur sekolah adalah adanya “Resistance
Culture” yakni menjudge / memberi prasangka kepada seseorang berdasarkan
budaya.
Salah satu contoh nyata dari resistance culture yang sering terjadi di
masyarakat adalah anggapan bahwa seorang wanita tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi karena pada akhirnya mereka hanyalah akan menjadi ibu rumah tangga.
Nah, resistance culture
yang berbeda juga beberapa kali turut mewarnai film ini. Dalam salah satu
adegan, Ibu Amek tak segan menyuruh Amek untuk berhenti sekolah saja jika si
Amek kerjaannya hanya menonton TV. Juga saat Amek dan kawan-kawannya membolos,
mereka lebih memilih mencari ikan dan berenang daripada belajar di sekolah, meskipun
pada akhirnya mereka didatangi oleh bu Guru Imbok untuk diberi nasihat bahwa
meski kelak mereka menjadi nelayan, peternak, atau apapun bukan berarti sekolah
itu tidak penting.
Meski demikian, dalam
film ini memperlihatkan bahwa Amek dan kawan-kawan bukanlah orang yang
meremehkan sekolah. Mereka memiliki cita-cita yang tinggi dan berani mengungkapkannya
dengan antusias kepada guru apa cita-cita mereka dan alasan mengapa
mencita-citakan profesi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa resistance culture beberapa kali ada namun tidak terlalu mencolok
di film ini. Bahkan boleh dikatakan pola pikir Amek dan teman-teman sudah
sangat baik mengenai pentingnya sekolah dan pentingnya meraih cita-cita.
Amek dkk rajin menuliskan & menggantungkan cita-cita mereka
di atas pohon
Selain resistance
culture, termasuk kultur sekolah adalah “Setereotipe”yakni
mensematkan lebel dan beban tertentu kepada beberapa pihak.
Contoh yang sering ada di sekolah Indonesia yaitu label 'anak paling nakal' dan label 'anak paling cerdas'. Label-label
ini (positif/negatif) sedikit banyak tnetu dikhawatirkan dapat membebani siswa yang
bersangkutan sehingga menghambat perkembangan mereka secara optimal.
Pemberian stereotipe cukup terlihat
dalam film ini. Label yang diberikan kepada beberapa anak adalah label siswa
paling pintar (juara) dan label siswa paling nakal. Label siswa paling pintar
diberikan kepada kakak Amek yakni Minun. Pada saat upacara sang kepala sekolah
memuji Minun di depan semua murid dan berharap besar bahwa Minun akan mampu
lulus Ujian Nasional sekaligus mendapatkan beasiswa. Minun terlihat bangga saat
dipuji, namun mungkin pujian ini juga yang kelak menjadi beban tersendiri. Di
akhir kisahnya, Minun yang tidak lulus ujian nasional merasa sangat tertekan
sehingga ia melakukan hal yang membuat nyawanya terengut. Tertekannya Minun
patut menjadi sorotan karena hal ini mungkin diakibatkan rasa bersalah sebagai
siswa pintar yang tidak mampu lulus ujian nasional, dan juga disertai perasaan
kecewa karena ia merasa cita-citanya tidak akan tercapai lantaran tidak lulus
UN.
pak Alim menghukum Amek dkk hanya karena prasangka
yang belum tentu kebenarannya
Sedangkan stereotipe
anak nakal disematkan kepada Amek dan dua orang temannya, dan secara umum
kepada anak-anak di kelas Amek. Kenakalan yang mereka lakukan hanyalah sebatas
membolos sekolah, terlambat, atau pernah kepergok mencuri timun di rumah
tetangga yang terkenal pelit, meskipun pada akhirnya mereka bisa disadarkan
oleh Papin. Seringnya mereka nakal dan dihukum menjadikan stereotipe atau label
bahwa mereka adalah anak nakal. Sampai suatu ketika terjadi kejadian yang tidak
disengaja yaitu patahnya kursi Pak Alim saat akan mengajar kelas Amek. Pak Alim
bersikeras menyangka bahwa itu pasti karena ulah jahil Amek dan kawan-kawan
sehingga seluruh kelas dihukum tidak boleh mengikuti ulangan. Hingga akhirnya
Amek terpaksa berbohong bahwa ia yang melakukan hal tersebut semata agar
teman-temannya bisa mengikuti ulangan harian. Setelah diusut, ternyata memang
kursi di kelas sering patah dan kejadian tadi bukanlah kesengajaan para murid.
Alhamdulillah semoga bisa kita ambil hikmahnya, to be continued... ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar