by : Reza Putra
Pernah suatu ketika saya membaca novel sejarah berjudul “Purnama dari Timur”, sebuah novel yang mengkisahkan tentang perjuangan nyata Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Gresik di telaah bumi Jawa. Ada satu pelajaran penting yang dapat saya tangkap dari sang pelopor sembilan wali ini terkait keberadaan beliau sebagai seorang DAI (penyeru kebaikan) di tengah-tengah masyarakat awam. Namun, terlebih dahulu akan saya ceritakan sedikit kisah perjalanan Sunan Gresik ini.
Beliau (Sunan Gresik) adalah seorang ulama terkemuka dari Persia Utara. Dengan demikian, sekiranya tak diragukan lagi masalah keilmuan beliau sebagai seorang syaikh. Selain gesit sebagai seorang pedagang, beliau juga mahir dalam hal irigasi persawahan yang pernah beliau pelajari di tanah airnya. Beliau juga cerdas, karena dalam waktu singkat mampu fasih dalam bahasa Jawa yang tentu sangat asing baginya.
Dari sembilan wali generasi pertama yang beliau pimpin (belum termasuk Sunan Ampel dkk), hanya beliau seorang yang tergolong sukses mendakwahkan Islam hingga akhirnya menjadi sebuah komunitas besar. Bermula dari kesuksesan beliau menyebarkan Islam inilah, saya mendapati satu pelajaran sekaligus fakta berharga yang menjadi sumber keberhasilan dakwah beliau.
Sebagai seorang ulama terkemuka, Sunan Gresik disambut sangat baik oleh komunitas kecil muslim disana, di desa Leran tepatnya. Saya rasa itu wajar, seperti halnya jika seorang presiden datang menemui rakyatnya, tentu sambutan kehadirannya akan lebih baik daripada hanya sekelas walikota yang datang. Title menentukan dalam hal ini. Hanya saja, objek dakwah beliau adalah masyarakat awam yang mayoritas beragama Hindu, pun mereka sama sekali tak mengenal beliau, sehingga title ulama itu seakan tidak berguna dalam konteks ini. Untuk itulah, pendekatan beliau kepada masyarakat awam agar diterima baik sebagai pendatang bukanlah dengan titlenya.
Apa yang dapat saya rangkum, setidaknya beliau menggunakan 2 faktor pendekatan penting yang kelak akan menjadi penentu keberhasilannya. Dua pendekatan yang sesungguhnya sangat sederhana menurut saya, yaitu : akhlakul karimah dan ilmu yang bermanfaat . Di sinilah akhirnya saya banyak belajar.
Akhalakul Karimah
Belajar dari Sunan Gresik, meski beliau berada di ranah asing Jawa yang terkenal angker/kurang ramah dengan pendatang, meski dalam keadaan terdesaknya ataupun tidak, meski dengan segala keawaman beliau terhadap masyarakat Jawa sekalipun, tidak membuat Sunan Gresik ciut nyali. Bahkan beliau tetap mampu menunjukkan akhlaknya yang begitu mulia. Hingga karena itulah beliau mendapat julukan ‘kakek bantal’, yaitu orang tua yang bisa menjadi bantalan (sandaran). Julukan yang diberikan langsung oleh masyarakat Jawa sendiri yang kala itu masih Hindu, padahal mereka pun belum lama mengenal sunan pendatang ini.
Disposisi kepribadian yang memang begitu mulia menjadikan beliau disukai dan disayangi masyarakat Jawa terutama dari kalangan kasta rendah (Sudra). Rasa hormat, tapi mungkin lebih menjurus pada rasa cinta dan kasih sayang masyarakat kepada beliau, saya rasa memang didasari karena pancaran akhlak Sunan Gresik semata, bukan lantaran karena beliau ulama ataupun pedagang yang kaya. Meski kaya pun, beliau adalah orang paling dermawan terhadap masyarakat sudra, lebih dari pedagang muslim lainnya.
Hal ini membuktikan, bahwa disposisi kepribadian yang mulia (akhlakul karimah) yang sudah terpatri kuat dalam diri seseorang menjadi faktor terkuat untuk menarik minat orang lain. Untuk itulah, menurut saya, pantas dan wajiblah hukumnya bagi seorang dai untuk memiliki, atau setidaknya mulai melatih untuk bisa memiliki disposisi yang mulia ini sebagai bekal berdakwah di masyarakat, dalam segala kondisi di setiap situasi. Sifat yang real ada di dalam diri seorang dai, bukan sifat yang dibuat-buat hanya agar masyarakat tertarik saja. Sifat-sifat mulia yang termasuk di dalamnya adalah sifat santun, ikhlas, sabar, dan empati untuk hidup di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, ungkapan ini mungkin memang benar adanya, “Perkenalkanlah dirimu dengan sebaik-baiknya, dan selanjutnya biarkan mereka sendiri paham apa yang sebenarnya engkau perjuangkan..”. Artinya, yang terpenting ialah memperkenalkan diri kita dengan sebaik-baiknya, dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun. Jadikan diri kita sebagai teman yang dicintai dan disayangi lantaran memang karena kebaikan kita, dan berlahan ajaklah ia dengan penuh kesantunan. Perkara apakah akhirnya mereka akan ikut atau tidak dengan perjuangan kita, biarlah cukup Allah saja yang menentukan lewat hidayahNya.
Ilmu/Kontribusi yang Bermanfaat
Satu lagi yang menjadi faktor keberhasilan dakwah Sunan Gresik adalah ilmunya yang kemudian mampu memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk masyarakat. Beliau berhasil membuat saluran irigasi pertama di Leran yang dengan inovasi luar biasanya tersebut mampu meningkatkan hasil tani serta menyelamatkan tanah tandus hingga produktif kembali. Atas jasa beliau inilah, Sunan Gresik semakin dihormati oleh masyarakat Jawa. Bahkan, masyarakat pun akhirnya rela dan ikhlas untuk memeluk Islam karena melihat kebaikan yang hadir berturut-turut semenjak kedatangan beliau.
Dari hal ini kita bisa belajar banyak, bahwa ilmu bisa dikatakan bermanfaat jika mampu memberikan kontribusi meski sekecil apapun untuk masyarakat. Seorang dai pun hendaknya demikian, dengan kapasitas ilmu dan kreatifitas yang ia miliki, mampu membantu masyarakat adalah suatu priorotas utama.
Jika kedua faktor ini telah dilakukan seorang dai, dengan demikian artinya ia pun telah mampu berdakwah dengan penuh kebijaksanaan sekaligus bisa memberikan kontribusi untuk masyarakat terutama objek dakwah disekitarnya, seperti yang telah dicontohkan beliau Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Sebuah teknik kolaborasi dakwah antara kesantunnan dan keilmuan yang sangat serasi, sangat ideal untuk diterapkan di masyarakat bahkan hingga saat ini. Dan menurut saya, patut sekali untuk kita contoh.
Wallahua'lam bi shawab. Semoga bermanfaat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar