Dalam perjalanannya
menuju Istana Imahama di Provinsi Omi, Toyotomi Hideyoshi yang merasa haus
mengistirahatkan pasukannya di sebuah kuil bernama Kuil Kanon yang terletak
tidak jauh dari Istana Imahama.
“Perintahkan
pasukan untuk beristirahat!”, perintah Hideyoshi
kepada pasukan depan.
“Baik,
Tuan,” jawab seorang pengawal.
Melihat kedatangan
Hideyoshi dan pasukannya, salah seorang pembantu pendeta kuil tersebut pun
menyambutnya.
“Ada
keperluan apakah Tuan datang ke mari?” tanya pembantu pendeta
tersebut
“Aku
hendak beristirahat di kuilmu sejenak. Itu jika Tuan mengizinkan,”
pinta Hideyoshi.
“Dengan
segenap hati saya akan mempersilakan Tuan untuk beristirahat. Silakan masuk,
Tuan,” jawab sopan pembantu pendeta tersebut.
Dengan adanya izin dari
pembantu pendeta Kuil Kanon, Hideyoshi pun memerintahkan pasukannya untuk
segera bersitirahat sebelum menghadapi peperanga yang kuat.
Sebagai pimpinan
pasukan, pembantu pendeta menjamu sepesial Hideyoshi di ruang tamunya. Sembari menyuguhkan
secangkir teh yang sudah dingin.
“Wah,
Tuan sungguh terberkati oleh Dewa. Saya benar-benar haus sekali. Terimakasih tehnya,”
jawab Hideyoshi setelah menghabiskan dengan cepat suguhan teh tersebut.
Melihat kelakuan
Hideyoshi, pembantu pendeta hanya tertawa simpul. Namun Hideyoshi yang
benar-benar kehausan tidak mempedulikannya.
“Bisakah
anda memberikan saya secangkir teh lagi?” pinta Hideyoshi.
“Akan
segera saya ambilkan, Tuan,” jawab pembantu pendeta
tersebut.
Tidak berapa lama,
pembantu pendeta tersebut kembali dengan membawa secangkir teh dan
menyuguhkannya dengan segera.
“Hmm..,
teh kali ini berbeda dengan yang tadi?” tanya Hideyoshi.
“Iya
Tuan.. masih sedikit hangat. Minumlah sedikit berlahan,”
ucap pembantu pendeta menjelaskan.
“Maaf,
saya benar-benar haus. Sudah tidak kuat menahan dahaga ini,”
jawab Hideyoshi setelah menghabiskan teh kedua dengan cepat pula.
“Apa
Tuan menghendakinya lagi?” tanya pembantu pendeta tersebut.
“Hmm..
jika Tuan tidak merasa keberatan,” jawab Hideyoshi.
“Akan
segera saya siapkan, Tuan,” jawab pembantu pendeta.
Tidak selang berapa
lama kemudian, pembantu pendeta sudah terlihat kembali dengan membawa secangkit
teh. Hanya saja, untuk kali ini Hideyoshi melihat pembantu pendeta membawa teh
yang masih mengeluarkab asap.
“Apa
teh tersebut masih panas?” tanya Hudeyoshi setelah pembantu
pendeta menghampirinya.
“Benar,
Tuan,” jawab pembantu pendeta secara singkat.
“Hmm..
bagaimana saya bisa menghabiskannya dengan capat?”
tanya Hideyoshi.
“Tidakkah
anda ingin menikmatinya sejenak, Tuan?” tanya pembantu
pendeta.
“Beri
saya penjelasan,” pinta Hideyoshi.
“Seperti
seorang pejuang pemula… pada awal pertaruangannya, dia sangat berambisi untuk
segera menumpak kekuatan musuh. Lebih cepat lebih baik. Namun, setelah dirinya
berhasil dan hendak menhadapi pertempuran selanjutnya, dia akan lebih
berhati-hati karena menyangkut hidup dan kekuasaannya. Tidak terlalu lama dan
tidak tergesa-gesa. Sedikit strategi, baru memulai pertempuran. Hingga akhirnya
berhasil, dia pun masih menginginkan kekuasaan yang lebih lagi. Dan saat kesempatannya
tiba, dia akan jauh lebih berhati-hati dalam menghadapai lawan. Karena lawan yang
berikutnya tentu akan lebih berbahaya. Bukan hanya strategi yang disiapkan,
bahkan pasukannya pun dia pilih sebaik mungkin agar mampu menguasai wilayah
lawannya yang lebih tangguh.,” pembantu pendeta
tersebut menjelaskan dengan panjang lebar.
“Hmm..,
coba jelaskan apa hubungannya dengan semua ini?”
tanya Hideyoshi.
“Tiga
cangkir teh, tiga pertempuran, dan tiga kehidupan,” jawab
singkat pembantu pendeta tersebut.
“Hmm..,”
Hideyoshi hanya menggeram lirih sembari menunjukkan mimic wajah yang masih
bingung.
“Tiga
cangkir teh... tiga pertempuran.. dan tiga kehidupan. Pada saat saya
menyuguhkan secangkir teh yang pertama, teh tersebut sudah dalam keadaan
dingin. Anda dengan segera menghabiskannya. Hal ini seperti saat Anda sedang
menghadapi pertempuran Anda yang pertama. Begitu beambisi dan antusias untuk mengalahkan
lawan dengan segera. Saat itu, Anda tentu tidak memikirkan kehidupan Anda. Yang
terpenting, dalam benak Anda adalah.. lebih cepat, lebih baik,”
pembantu pendeta tersebut menjelaskannya secara berlahan.
“Hmm..
lanjutkan,” pinta Hideyoshi.
“Tentang
suguhan teh saya yang kedua, saya menyuguhkannya dalam keadaan hangat. Saya melihat
Anda tidak langsung meminumnya, melaikan ada sedikit perbincangan di antara
kita. Sama seperti dalam pertempuran yang kedua. Jika pertempuran yang pertama
tadi sudah dimenangkan, tentu kekuasaan akan bertambah. Maka dia akan lebih waspada
dalam pertempuran kedua, karena bukan hanya nyawa yang dipertaruhkan, melaikan
wilayag kekuasaan juga. Itu sebab, sedikit strategi pun dirancanakan agar semua
tidak menjadi kesalahan fatal,” pembantu pendeta itu
menjelaskan.
“Baik,
saya mulai memahami perkataan Anda. Dan tentang yang ketiga?” pinta
Hideyoshi.
“Tentang
suguhan teh saya yang ketiga, saya memang sengaja menyuguhkannya dalam keadaan
panas. Saya perumapakan lagi dalam keadaan pertempuran. Setelah pertempuran
pertama dan kedua berhasil dimenangkan, semakin besar pula wilayah kekuasaan
yang didapat. Seorang pejuang sejati pasti akan memperhitungkan untung dan
ruginya pada pertarungan berikutnya. Dia akan lebih berhati-hati. Segala rencana
dan strategi diperhitungkan dengan lebih terperinci. Tidak tergesa-gesa, tidak
pula terlalu lama. Dirasa rencana sudah matang, maka pertempuran dilaksanakan,”
jawab pembantu pendeta tersebut.
“Haha..!!
saya tidak pernah menyangka Anda begitu mengenal startegi pertempuran. Bahkan saya
pun tak menyadarinya,” puji Hideyoshi.
“Tidak
Tuan, saya hanya seorang abdi Dewa. Hanya tangan Dewa lah yang menentukan
segalanya. Dan ajaran ini saya dapatkan dari ajaran Dewa,”
kata pembantu pendeta dengan merendah.
“Hmm..
Tiga cangkir the, tiga pertempuran, dan tiga kehidupan. Kalau tidak salah Anda
belum menjelaskan tentang tiga kehidupan. Apa maksud tiga kehidupan itu?”
tanya Hideyoshi yang masih belum puas.
“Tentang
‘tiga’ itu semua, masing-masing masih saling berhubungan. Dalam kehidupan,
seseorang pasti dihadapkan pada tiga kenyataan, yaitu hidup, mati, dan surga. Seperti
meminum secangkir teh yang pertama. Dalam menjalankan kehidupan di dunia ini,
tidak sadarkah kita kehidupan begitu cepat? Diteruskan dengan secangkir teh
yang kedua, sedikit lambat. Seperti di saat kematian kita kelak, sedikit lambat
hingga menunggu beberapa orang di kemudian hari yang menyusul. Kita tidak akan
tahu kapan kita dan mereka akan mati. Dan secangkir teh yang ketiga, lama. Ini seperti
kehidupan di surga, kita akan abadi bersama dewa-dewa. Itu sebab, dalam
menjalankan pertempuran, terutama seorang seperti Anda, tentukanlah sikap yang
bijak. Karena menyangkut kehidupan seseorang. Tidakkah kita akan bijak jika
kita bisa lebih berlahan dan memperhitungkannya kembali?”
pembantu pendeta kuil itu mengakhiri penjelasannya.
“Aku
rasa Anda benar. Tidak seharusnya kuta bertempur tanpa sebuah strategi yang
cerdik. Karena selain hanya akan menyia-nyiakan pasukan kita, mungkin saja
kekalahan pun siap mendatangi kita,” ucap Hideyoshi.
“Tuan,
mimunlah teh Anda. Saya rasa, Anda sudah terlalu lama membairkan teh ini
mengunggu,” pembantu pendeta mencoba mengingatkan.
“Oh
iya. Dan saya rasa, saya sudah terlalu lama juga berada di sini. Saya mohon
pamit. Terima kasih atas jamuannya. Semoga apa yang menjadi pembicaraan kita
hari ini, kelak menjadi kekuatan tersendiri bagi saya,”
kata Hideyoshi.
“Semoga
saja..,” ucap pembantu pendeta tersebut.
Setelah Hideyoshi
menyelesaikan minumnya, Hideyoshi pun segera mempersiapkan pasukannya dan
segera memimpin menuju Istana Imahama. Namun sebelum Hideyoshi berangkat,
Hideyoshi mencoba ingin tahu siapa gerangan pembantu pendeta tersebut. Hideyoshi
merasa tidak percaya jika laki-laki yang ditemuinya tadi hanyalah seorang abdi
kuil biasa.
“Siapa
nama Anda, Tuan?” tanya Hideyoshi.
“Mitsunari..
Ishida Mitsunari, Tuan,” jawabnya singkat.
sumber
: buku Sekigahara (perang besar penentu pemimpin Jepang) hal 111-115_ penulis Dozi
Swandana_ penerbit Bukukatta/Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar