"Bismillahiraahmanirrahim.., Perjuangan itu dirintis oleh orang-orang yg ALIM, diperjuangkn oleh orang-orang yg IKHLAS, dan dimenangkan oleh orang orang yang PEMBERANI.."

Suka Blog Ini..?

Minggu, 29 Maret 2015

Tiga Cangkir Teh, Tiga Pertempuran, & Tiga Kehidupan



Dalam perjalanannya menuju Istana Imahama di Provinsi Omi, Toyotomi Hideyoshi yang merasa haus mengistirahatkan pasukannya di sebuah kuil bernama Kuil Kanon yang terletak tidak jauh dari Istana Imahama.
“Perintahkan pasukan untuk beristirahat!”, perintah Hideyoshi kepada pasukan depan.
“Baik, Tuan,” jawab seorang pengawal.
Melihat kedatangan Hideyoshi dan pasukannya, salah seorang pembantu pendeta kuil tersebut pun menyambutnya.
“Ada keperluan apakah Tuan datang ke mari?” tanya pembantu pendeta tersebut
“Aku hendak beristirahat di kuilmu sejenak. Itu jika Tuan mengizinkan,” pinta Hideyoshi.
“Dengan segenap hati saya akan mempersilakan Tuan untuk beristirahat. Silakan masuk, Tuan,” jawab sopan pembantu pendeta tersebut.
Dengan adanya izin dari pembantu pendeta Kuil Kanon, Hideyoshi pun memerintahkan pasukannya untuk segera bersitirahat sebelum menghadapi peperanga yang kuat.
Sebagai pimpinan pasukan, pembantu pendeta menjamu sepesial Hideyoshi di ruang tamunya. Sembari menyuguhkan secangkir teh yang sudah dingin.
“Wah, Tuan sungguh terberkati oleh Dewa. Saya benar-benar haus sekali. Terimakasih tehnya,” jawab Hideyoshi setelah menghabiskan dengan cepat suguhan teh tersebut.
Melihat kelakuan Hideyoshi, pembantu pendeta hanya tertawa simpul. Namun Hideyoshi yang benar-benar kehausan tidak mempedulikannya.
“Bisakah anda memberikan saya secangkir teh lagi?” pinta Hideyoshi.
“Akan segera saya ambilkan, Tuan,” jawab pembantu pendeta tersebut.
Tidak berapa lama, pembantu pendeta tersebut kembali dengan membawa secangkir teh dan menyuguhkannya dengan segera.
“Hmm.., teh kali ini berbeda dengan yang tadi?” tanya Hideyoshi.
“Iya Tuan.. masih sedikit hangat. Minumlah sedikit berlahan,” ucap pembantu pendeta menjelaskan.
“Maaf, saya benar-benar haus. Sudah tidak kuat menahan dahaga ini,” jawab Hideyoshi setelah menghabiskan teh kedua dengan cepat pula.
“Apa Tuan menghendakinya lagi?” tanya pembantu pendeta tersebut.
“Hmm.. jika Tuan tidak merasa keberatan,” jawab Hideyoshi.
“Akan segera saya siapkan, Tuan,” jawab pembantu pendeta.
Tidak selang berapa lama kemudian, pembantu pendeta sudah terlihat kembali dengan membawa secangkit teh. Hanya saja, untuk kali ini Hideyoshi melihat pembantu pendeta membawa teh yang masih mengeluarkab asap.
“Apa teh tersebut masih panas?” tanya Hudeyoshi setelah pembantu pendeta  menghampirinya.
“Benar, Tuan,” jawab pembantu pendeta secara singkat.
“Hmm.. bagaimana saya bisa menghabiskannya dengan capat?” tanya Hideyoshi.
“Tidakkah anda ingin menikmatinya sejenak, Tuan?” tanya pembantu pendeta.
“Beri saya penjelasan,” pinta Hideyoshi.
“Seperti seorang pejuang pemula… pada awal pertaruangannya, dia sangat berambisi untuk segera menumpak kekuatan musuh. Lebih cepat lebih baik. Namun, setelah dirinya berhasil dan hendak menhadapi pertempuran selanjutnya, dia akan lebih berhati-hati karena menyangkut hidup dan kekuasaannya. Tidak terlalu lama dan tidak tergesa-gesa. Sedikit strategi, baru memulai pertempuran. Hingga akhirnya berhasil, dia pun masih menginginkan kekuasaan yang lebih lagi. Dan saat kesempatannya tiba, dia akan jauh lebih berhati-hati dalam menghadapai lawan. Karena lawan yang berikutnya tentu akan lebih berbahaya. Bukan hanya strategi yang disiapkan, bahkan pasukannya pun dia pilih sebaik mungkin agar mampu menguasai wilayah lawannya yang lebih tangguh.,” pembantu pendeta tersebut menjelaskan dengan panjang lebar.
“Hmm.., coba jelaskan apa hubungannya dengan semua ini?” tanya Hideyoshi.
“Tiga cangkir teh, tiga pertempuran, dan tiga kehidupan,” jawab singkat pembantu pendeta tersebut.
“Hmm..,” Hideyoshi hanya menggeram lirih sembari menunjukkan mimic wajah yang masih bingung.
“Tiga cangkir teh... tiga pertempuran.. dan tiga kehidupan. Pada saat saya menyuguhkan secangkir teh yang pertama, teh tersebut sudah dalam keadaan dingin. Anda dengan segera menghabiskannya. Hal ini seperti saat Anda sedang menghadapi pertempuran Anda yang pertama. Begitu beambisi dan antusias untuk mengalahkan lawan dengan segera. Saat itu, Anda tentu tidak memikirkan kehidupan Anda. Yang terpenting, dalam benak Anda adalah.. lebih cepat, lebih baik,” pembantu pendeta tersebut menjelaskannya secara berlahan.
“Hmm.. lanjutkan,” pinta Hideyoshi.
“Tentang suguhan teh saya yang kedua, saya menyuguhkannya dalam keadaan hangat. Saya melihat Anda tidak langsung meminumnya, melaikan ada sedikit perbincangan di antara kita. Sama seperti dalam pertempuran yang kedua. Jika pertempuran yang pertama tadi sudah dimenangkan, tentu kekuasaan akan bertambah. Maka dia akan lebih waspada dalam pertempuran kedua, karena bukan hanya nyawa yang dipertaruhkan, melaikan wilayag kekuasaan juga. Itu sebab, sedikit strategi pun dirancanakan agar semua tidak menjadi kesalahan fatal,” pembantu pendeta itu menjelaskan.
“Baik, saya mulai memahami perkataan Anda. Dan tentang yang ketiga?” pinta Hideyoshi.
“Tentang suguhan teh saya yang ketiga, saya memang sengaja menyuguhkannya dalam keadaan panas. Saya perumapakan lagi dalam keadaan pertempuran. Setelah pertempuran pertama dan kedua berhasil dimenangkan, semakin besar pula wilayah kekuasaan yang didapat. Seorang pejuang sejati pasti akan memperhitungkan untung dan ruginya pada pertarungan berikutnya. Dia akan lebih berhati-hati. Segala rencana dan strategi diperhitungkan dengan lebih terperinci. Tidak tergesa-gesa, tidak pula terlalu lama. Dirasa rencana sudah matang, maka pertempuran dilaksanakan,” jawab pembantu pendeta tersebut.
“Haha..!! saya tidak pernah menyangka Anda begitu mengenal startegi pertempuran. Bahkan saya pun tak menyadarinya,” puji Hideyoshi.
“Tidak Tuan, saya hanya seorang abdi Dewa. Hanya tangan Dewa lah yang menentukan segalanya. Dan ajaran ini saya dapatkan dari ajaran Dewa,” kata pembantu pendeta dengan merendah.
“Hmm.. Tiga cangkir the, tiga pertempuran, dan tiga kehidupan. Kalau tidak salah Anda belum menjelaskan tentang tiga kehidupan. Apa maksud tiga kehidupan itu?” tanya Hideyoshi yang masih belum puas.
“Tentang ‘tiga’ itu semua, masing-masing masih saling berhubungan. Dalam kehidupan, seseorang pasti dihadapkan pada tiga kenyataan, yaitu hidup, mati, dan surga. Seperti meminum secangkir teh yang pertama. Dalam menjalankan kehidupan di dunia ini, tidak sadarkah kita kehidupan begitu cepat? Diteruskan dengan secangkir teh yang kedua, sedikit lambat. Seperti di saat kematian kita kelak, sedikit lambat hingga menunggu beberapa orang di kemudian hari yang menyusul. Kita tidak akan tahu kapan kita dan mereka akan mati. Dan secangkir teh yang ketiga, lama. Ini seperti kehidupan di surga, kita akan abadi bersama dewa-dewa. Itu sebab, dalam menjalankan pertempuran, terutama seorang seperti Anda, tentukanlah sikap yang bijak. Karena menyangkut kehidupan seseorang. Tidakkah kita akan bijak jika kita bisa lebih berlahan dan memperhitungkannya kembali?” pembantu pendeta kuil itu mengakhiri penjelasannya.
“Aku rasa Anda benar. Tidak seharusnya kuta bertempur tanpa sebuah strategi yang cerdik. Karena selain hanya akan menyia-nyiakan pasukan kita, mungkin saja kekalahan pun siap mendatangi kita,” ucap Hideyoshi.
“Tuan, mimunlah teh Anda. Saya rasa, Anda sudah terlalu lama membairkan teh ini mengunggu,” pembantu pendeta mencoba mengingatkan.
“Oh iya. Dan saya rasa, saya sudah terlalu lama juga berada di sini. Saya mohon pamit. Terima kasih atas jamuannya. Semoga apa yang menjadi pembicaraan kita hari ini, kelak menjadi kekuatan tersendiri bagi saya,” kata Hideyoshi.
“Semoga saja..,” ucap pembantu pendeta tersebut.
Setelah Hideyoshi menyelesaikan minumnya, Hideyoshi pun segera mempersiapkan pasukannya dan segera memimpin menuju Istana Imahama. Namun sebelum Hideyoshi berangkat, Hideyoshi mencoba ingin tahu siapa gerangan pembantu pendeta tersebut. Hideyoshi merasa tidak percaya jika laki-laki yang ditemuinya tadi hanyalah seorang abdi kuil biasa.
“Siapa nama Anda, Tuan?” tanya Hideyoshi.
“Mitsunari.. Ishida Mitsunari, Tuan,” jawabnya singkat.


sumber : buku Sekigahara (perang besar penentu pemimpin Jepang) hal 111-115_ penulis Dozi Swandana_  penerbit Bukukatta/Solo




Tidak ada komentar:

Posting Komentar