Bukan kita yang memilih takdir
Takdirlah yang memilih kita
Bagaimanapun, takdir bagaikan angin
bagi seorang pemanah
Kita selalu harus mencoba
untuk membidik dan melesatkannya
Di saat yang paling tepat
-Shalahudin Al Ayyubi-
Obsesi tujuh abad itu
begitu bergemuruh di dada seorang Sultan muda, baru 23 tahun usianya. Tak
sebagaimana lazimnya, obsesi itu bukan mengeruhkan, melainkan semakin
membeningkan hati dan jiwanya. Ia tahu, hanya seorang yang paling bertaqwa yang
layak mendapatkannya. Ia tahu, hanya sebaik-baik pasukan yang layak
mendapatkannya.
Maka di sepetiga malam
terakhir menjelang penyerbuan bersejarah itu ia berdiri di atsa mimbar, dan
meminta semua pasukannya berdiri. “Saudara-saudaraku di jalan Allah”, ujarnya,
“Amanah yang dipikulkan di pundak kita menuntut hanya yang terbaik yang layak
mendapatkannya. Tujuh ratus tahun lamanya nubuat Rasulullah telah menggerakan
para mujahid tangguh, tetapi Allah belum mngizinkan mereka memenuhinya. Aku
katakana kepada kalian sekarang, yang pernah meningglakna shalat fardhu sejak
balighnya, silakan duduk!”
Begitu sunyi. Tak
seorang pun bergerak.
“Yang pernah
meningglakan puasa Ramadhan silakan duduk!”
Andai sebutir keringat
jatuh ketika itu, pasti terdengar. Hening sekali, tak satu pun bergerak.
“Yang pernah
menghatamkan Al Quran melebihi sebulan silakan duduk!”
Kali ini, beberapa
gelintir orang perlahan menekuk kakinya. Berlutut berlinang air mata.
“Yang pernah kehilangan
hafalan Al Quran-nya, silakan duduk!”
Kali ini lebih banyak yang
menangis sedih, khawatir tak terikut menjadi ujung tombak pasukan. Mereka pun
duduk.
“Yang pernah meninggalkan
shalat malam sejak balighnya, silakan duduk!”
Tinggal sedikit yang
masih berdiri, dengan wajah sangat tegang, dada berdegub kencang, dan tubuh
menggeletar.
“Yang pernah
meninggalkan puasa Ayyamul Bidh,
silakan duduk!”
Kali ini semua terduduk
lemas. Hanya satu orang yang masih berdiri. Dia, sang sultan sendiri. Namanya
Muhammad Al Fatih. Dan obsesi tujuh abad itu adalah Konstantinopel.
Sejak kecil, ia berada
dalam bimbingan Syaikh Aaq Syamsudin. Mufti di istana Sultan Murad itu sering
membacakan untuk Al Fatih sebuah hadist Rasulullah dari ‘Abdullah ibn ‘Amru ibn
Al ‘Ash. Suatu ketika, sahabat Rasulullah yang zuhud, putra penakhluk Mesir iu
pernah ditanya, “Mana yang lebih dulu dibebaskan, Konstantinopel ataukah Roma?”
Syukurlah ‘Abdullah pernah mencatat, bahwa Rasulullah ketika ditanyai
pertanyaan yang sama menjawab, “Kota Heraclius lebih dahulu. Yang
menaklukkannya adalah sebaaik-baik pasukan. Dan pemimpinnya adalah sebaik-baik
panglima.”
Hadist ini begitu
menggelora Al Fatih kecil, menguasainya, dan membeningkan dirinya untuk menjadi
‘sebaik-baik panglima’, atau setidak-tidaknya menjadi anggota ‘sebaik-baik
pasukan’. Ia menjauhi kehidupan mewah istana, berguru kepada para ‘ulama,
beribadah dengan khusyu’-nya. “Ya Allah, jadikan aku sebaik-baik pemimpin, atau
sebaik-baik prajurit!”, pintanya dalam doa. Tiap pagi, dari puncak perbukitan
Bursa, dia memandang ke seberang utara Laut Marmara, kearah Konstantinopel.
Konstantinopel. Visi
yang bening itu menguasai Al Fatih. Membuatnya mendekatkan diri kepada Allah
sdekat-dekatnya. Membuatnya mampu melakukan hal-hal yang tak dinyana manusia.
Seperti ketika dengan kayu gelondongan yang dilukuri lemak sapi, diseberangkan
kapal-kapal perang memasuki perairan Konstantinopel lewat darat karena
sebelumnya sulit ditembus lewat perairan.
Di jalan cinta para
pejuang, kita membutuhkan visi yang bening untuk mengkokohkan jiwa dan
merambatkan cinta.
sumber
: Salim A. Fillah (Jalan Cinta para Pejuang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar