Apakah Pemalu
Itu
Para ahli
nampaknya memiliki beberapa pandangan yang berbeda tentang perilaku pemalu
(shyness). Ada ahli yang mengatakan bahwa pemalu adalah suatu sifat bawaan atau
karakter yang terberi sejak lahir. Ahli lain mengatakan bahwa pemalu adalah
perilaku yang merupakan hasil belajar atau respon terhadap suatu kondisi
tertentu. Secara definitif, penulis menjabarkan pemalu sebagai suatu keadaan
dalam diri seseorang dimana orang tersebut sangat peduli dengan penilaian orang
lain terhadap dirinya dan merasa cemas karena penilaian sosial tersebut,
sehingga cenderung untuk menarik diri.
Kecenderungan menarik
diri ini sudah dimulai sejak masa kanak-kanak, bahkan sejak bayi. Kita dapat
melihat ada bayi-bayi yang menangis jika didekati orang atau tidak mau untuk
dipegang. Sebaliknya ada juga bayi-bayi yang tidak pemalu, mereka membiarkan
diri mereka berada dekat orang lain, dan tidak menolak digendong oleh orang
yang tidak dikenal.
Swallow (2000)
seorang psikiater anak, membuat daftar hal-hal yang biasanya
dilakukan/dirasakan oleh anak yang pemalu:
1.
menghindari kontak mata;
2.
tidak mau melakukan apa-apa;
3.
terkadang memperlihatkan perilaku mengamuk/temper
tantrums (dilakukan untuk melepaskan kecemasannya);
4.
tidak banyak bicara, menjawab secukupnya saja seperti
"ya", "tidak", "tidak tahu", "halo";
5.
tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan di kelas;
6.
tidak mau meminta pertolongan atau bertanya pada orang
yang tidak dikenal;
7.
mengalami demam panggung (pipi memerah, tangan
berkeringat, keringat dingin, bibir terasa kering) di saat-saat tertentu;
8.
menggunakan alasan sakit agar tidak perlu berhubungan
dengan orang lain (misalnya agat tidak perlu pergi ke sekolah);
9.
mengalami psikosomatis; merasa tidak ada yang menyukainya.
Swallow juga
menyatakan adanya beberapa situasi dimana seseorang (pemalu maupun tidak) akan
mengalami rasa malu yang wajar dan lebih dapat diterima, yaitu:
2. tampil di depan
orang banyak;
3. situasi baru
(misalnya sekolah baru, pindah rumah baru).
Dampak Sifat Pemalu
Pada dasarnya
pemalu bukanlah hal yang menjadi masalah ataupun dipermasalahkan, dan sudah
pasti bukan merupakan abnormalitas. Tetapi masalah justru bisa muncul akibat
sifat pemalu. Peribahasa malu bertanya sesat di jalan, menggambarkan
secara tepat masalah yang dapat muncul karena rasa malu yang ada dalam diri
seseorang. Misalnya, ketika berada di rumah teman/tetangga, anak ingin buang
air kecil tetapi malu minta ijin ke toilet, sehingga menahan keinginan buang
air yang akhirnya berakibat sianak malah mengompol.
Pemalu juga
dapat menjadi masalah, jika sifat ini menyebabkan potensi anak menjadi terkubur
dan anak tidak berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya. Misalnya
anak yang punya suara bagus dan berbakat menyanyi, tapi merasa malu untuk
mengasah bakatnya dengan ikut koor, les vokal dan mengikuti kejuaraan, maka
suara indahnya akan tersimpan sia-sia dan tidak bertambah indah. Hal ini sangat
disayangkan baik bagi anak maupun orangtuanya.
Apa Yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua?
Tanpa
mengabaikan pendapat bahwa pemalu merupakan bawaan/karakter terberi atau bukan,
satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa lingkungan memegang peranan
penting terhadap sifat pemalu ini. Anak
akan semakin pemalu ataukah justru dapat mengatasi sifat pemalu ini, tergantung
dari apakah lingkungannya (baca: orangtua) terus-terusan melindungi anak pemalu
atau mendorongnya untuk mau menghadapi dunia luar sehingga anak menjadi lebih
percaya diri.
Idealnya
orangtua menerima sifat pemalu anak apa adanya tanpa mempermasalahkannya. Namun
di lain pihak orangtua diharapkan untuk memampukan anak dalam mengatasi rasa
malu sehingga anak merasa kompeten, percaya diri, berkembang sesuai dengan
potensi yang ada di dalam dirinya dan megurangi masalah yang mungkin timbul
sebagai akibat sifat pemalu. Seorang anak yang pemalu, tidak terus-terusan
merasa malu dalam setiap situasi hidupnya. Ada situasi-situasi tertentu yang
dapat membuatnya merasa percaya diri.
Biasanya situasi tersebut adalah ketika
anak sedang bersama orangtua ataupun anggota keluarga yang ditemuinya
setiap hari (tanpa kehadiran orang baru/asing) atau situasi yang stabil/rutin
dilalui anak. Kalau orangtua dari awal sudah mengetahui anaknya pemalu dan
ingin mendorongnya agar mampu mengatasi rasa malu tersebut, maka sebaiknya dari
awal itulah usaha orangtua sudah dilakukan. Usaha orangtua sebaiknya merupakan
usaha yang bertahap, hari demi hari sampai akhirnya bertahun-tahun kemudian
menampakkan hasilnya, seperti kata pepatah sedikit demi sedikit lama-lama
menjadi bukit.
Orangtua
sebaiknya mendorong anak untuk berani keluar dan menghadapi dunia luar
dengan percaya diri. Mendorong seorang anak pemalu untuk berani menghadapi
dunia luar tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba (drastis). Misalnya ketika
orangtua sudah mencapai titik jenuh melindungi anaknya terus-menerus dan
bingung melihat anaknya sampai usia sekian tahun masih tidak mau bergaul dengan
anak tetangga, lalu dengan tiba-tiba melepaskan si anak dan mengatakan
"ayo dong Adie, sekarang kamu sudah besar, kamu sekarang sudah harus
berani, ayo sana bermain play station ramai-ramai dengan Deni di
rumahnya".
Perubahan sikap
orangtua yang seperti ini bisa menjadi tekanan tersendiri buat si anak, karena
yang biasanya aman dalam lindungan orangtua, tiba-tiba orangtua berubah
melepaskan dan "tidak mau melindungi". Mendorong anak (encourage) tidak sama dengan memaksa (push), usaha yang tiba-tiba bukanlah mendorong,
tetapi memaksa. Perasaan terpaksa akan membuat keadaan bertambah buruk karena
anak ditempatkan pada keadaaan yang melebihi batas toleransinya, sehingga anak
bisa jadi malah semakin menarik diri.
Ada beberapa
hal yang dapat dilakukan orangtua untuk membantu anak mengatasi rasa malu,
yaitu:
1. Orangtua sebaiknya tidak mengolok-olok sifat pemalu anak
ataupun memperbincangkan sifat pemalunya di depan anak tersebut. Contohnya
dengan mengatakan "kamu sih pemalu","iya loh Bu Joko, anak saya
ini pemalu sekali, sampai repot saya kadang-kadang", dll. Dengan
mengatakan hal-hal ini anak dapat merasa tidak diterima sebagaimana dia adanya.
2.
Mengetahui kesukaan dan potensi anak, lalu mendorongnya
untuk berani melakukan hal-hal tertentu, lewat media hobi dan potensi diri.
Misalnya, anak suka main mobil-mobilan, ketika berada di toko ia menginginkan
mobil berwarna merah, sementara yang tersedia berwarna biru, maka anak bisa
didorong untuk mengatakan kepada pelayan bahwa ia menginginkan mobil yang berwarna
biru.
3.
Sebaiknya orangtua secara rutin mengajak anak untuk
berkunjung ke rumah teman, tetangga atau kerabat dan bermain di sana. Kunjungan
sebaiknya dilakukan pada teman-teman yang berbeda. Selain secara rutin berkunjung, juga sebaiknya mengundang anak-anak
tetangga atau teman-teman sekolah untuk bermain di rumah.
4.
Lakukan role-playing bersama anak. Misalnya seperti pada
contoh no. 2 diatas, anak belum tentu berani untuk berbicara pada pelayan toko
sekalipun didampingi, maka ketika berada di rumah, orangtua dan anak bisa
bermain peran seolah-olah sedang berada di toko dan anak pura-pura berbicara
dengan pelayan. Role-playing dapat dilakukan pada berbagai situasi,
berpura-pura di toko, berpura-pura di sekolah, berpura-pura ada di panggung,
dll.
Jadilah contoh
buat anak, orangtua tidak hanya mendorong anak untuk percaya diri, tetapi juga
menjadi model dari perilaku yang percaya diri. Anak biasanya mengamati dan
belajar dari perilaku orangtuanya sendiri.
Apapun usaha
yang dilakukan, sebaiknya orangtua tetap
mendampingi dan tidak langsung melepaskan anak seorang diri. Misalnya
ketika diminta bicara pada pelayan toko, orangtua berada di samping anak, atau
ketika mengajak main ke rumah temannya, orangtua tetap berada di rumah temannya
itu (anak main bersama temannya tapi dia tahu orangtuanya ada dan tidak
meninggalkan seorang diri). Anak bisa dibiarkan melakukan seorang diri, jika
dilihat rasa percaya dirinya sudah berkembang.(jp)
sumber : e-psikologi.com / 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar