Suatu sore menjelang Maghrib,
pertengahan Desember 2006, saya menyaksikan berita tentang seorang perempuan
yang menyimpan mayat bayi dalam toples. Dengan dibungkus tiga lapis kain dan
direndam cairan spiritus. Saya pun menuliskan fakta ini dengan hati gemetar. Dia,
pemilik warung remang-remang telah menyimpan mayat itu selama 8 tahun,
menjadikannya sebagai pesugihan. Masya Allah.!!
Dia perempuan, sama
seperti saya. Bagaimana bisa demikian tega? Apakah nuraninya sebagai seorang
ibu sudah mati? Apakah … rasanya saya tak sanggup lagi mengajukan tanya demi tanya.
Ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan kejadian tergelar di muka bumi, yang mengoyak
nurani. Bapak memperkosa anak, ibu membunuh bayinya sendiri, anak menikam
orangtuanya, suami membakar istri, istri memotong alat kelamin suami. Ada banyak
sekali kejadian yang membuat nurani kita bertanya-tanya, “di mana Allah dia letakkan, saat dia berbuat demikian? Di mana Allah
dia posisikan dalam hatinya?”
Lepas dari kejadian serba
‘besar’ tersebut, mari kembali pada diri kita sendiri. Sudahkah kita jadikan
Allah sebagai pemandu segenap aktifitas kita? Sudahkah kesadaran tentang
pengawasan melekat-Nya membuat kita berhati-hati untuk merasa, berpikir,
berkata, dan bertindak? Dia selalu mengawasi, tak pernah lengah walau sedetik. Karena
Dia tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur. Dia Maha Tahu segalanya,
bahkan yang hanya terbesit di dalam hati.
Sudahkah kita merasa
dimiliki dan memiliki-Nya? Sudahkah kita merasakan bahwa Dia teramat dekat? Sudahkah
ayat-Nya membuat hati kita bergetar?
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabilaa ia berdoa kepadaku..”
Terhadap janji Allah
ini, mungkin ada yang menggugat, “Siang
malam aku berdoa, tak putus-putus ku tunaikan sholat, tapi mengapa tak kunjung
terkabulkan doaku?” Maka, sambungan dari ayat di atas menjadi jawabannya..
“…Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala
perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku..”
Apakah kita sudah
bersungguh-sungguh mematuhi-Nya? Yakinkah, atas kehalalan pangan dan pakaian
kita? Yakinkah, sudah tidak ada yang terdzalimi oleh lisan dan tindakan kita? Yakinkah,
kita sudah beriman pada-Nya? Sudahkah hati kita benar-benar ikhlas taat
pada-Nya?
Acapkali, perintah Allah
dimaknai dengan pengekangan. Seringkali, ujian dan cobaan dimaknai sebagai
hukuman. Hidup kita, diwarnai dengan prasangka buruk kepada-Nya. Tak terbilang,
hati kita berontak, “Engkau tak adil
padakau atas perkara ini, Ya Allah!”. Bila demikian adanya, bagaimana bisa
Dia kabulkan permohonan kita? Bagaimana Dia akan mengabulkan, sedang kita tidak
bersungguh-sungguh pecaya pada janji-Nya? Allah Maha Penyayang.
Tak ada satupun makhluk
di bumi, di langit, di planet manapun jua, yang sanggup memberikan kasih sayang
lebih besar dari kasih sayang-Nya. Dia tak akan memberikan apapun kepada
makhluk, kecuali yang baik. Dia tak akan memberikan aturan kecuali untuk
kebaikan hidup makhluk yang telah Ia ciptakan.
Maka, segala cobaan …
semua perintah-Nya adalah …
“… agar mereka selallu berada dalam
kebenaran” (QS.
Al Baqarah 2 : 186)
Wallahu’alam bishawab.
sumber : pengantar Jazimah al-Muhyi
(FLP) dalam buku “Betapa Allah Mencintaimu” (Ratna Dewi Idrus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar