(ilustrasi)
alhikmah.ac.id
– Sudah lama Abu Jahal bersahabat
akrab dengan Abu Dzar Al Ghiffari. Bahkan sebelum Islam masuk. Tidak heran,
karena keduanya adalah saudagar yang sama-sama mengadu peruntungannya dengan
berdagang. Keduanya terkenal sebagai kongsi dagang yang saling menguntungkan.
Setiap kali Abu Dzar datang ke kota Mekkah, ia selalu membawa barang-barang
dagangan yang hanya dijual dengan perantaraan Abu Jahal.
Tetapi
hari itu alangkah herannya Abu Jahal ketika kedatangan Abu Dzar ternyata tidak
disertai dengan barang apapun seperti biasanya. Apalagi uang perniagaan.
“Kau membawa barang dagangan, hai sahabatku.?”
Abu Jahal yang mempunyai nama asli Amr bin Hisyam ini bertanya.
“Seperti yang kau lihat, tidak,” Abu Dzar
menjawab.
“Engkau membawa uang.?” tanya Abu Jahal
semakin bingung dan heran.
“Wah, juga tidak.”
Abu
Jahal merengut mendengar jawaban sahabatnya itu. Dengan masih diliputi tanda
tanya besar, ia berkata lagi, “Ada apa
denganmu? Apa yang membuatmu datang jauh-jauh ke Mekkah tanpa membawa barang
dagangan ataupun uang? Adakah tujuanmu yang lain?”
Abu
Dzar tersenyum dan tetap bersikap tenang. “Sahabatku,
Abu Jahal,” ujarnya, “Kali ini kedatanganku bukan untuk mengadu untung dalam
perdagangan.”
Dahi
Abu Jahal berkerut. “Lantas untuk apakah?”
“Aku ingin bertemu dengan kemenakanmu.”
“Hah, kau ingin bertemu dengan kemenakanku?”
Abu Jahal tidak mengerti. Sungguh, tapi tampaknya ia sudah mulai curiga. “Siapa
yang kaumaksud?”
“Muhammad.”
“Muhammad.?”
“Ya. Kudengar dari beberapa sahabatku bahwa
Muhammad, kemenakanmu itu telah diangkat menjadi seorang Rasul. Engkau harus
bangga mempunyai kemenakan semulia itu, sahabatku.” Abu Dzar berkata dengan
senyum, tapi kemudian merasa heran karena tidak mendapatkan jawaban apapun dari
orang yang ada di hadapannya itu.
Sejurus
kemudian, terlihat kerut di wajah Abu Jahal. Ia berkata dengan suara keras, “Sahabatku, dengarkanlah aku jika kau ingin
selamat. Jangan kautemui dia! Sekali-kali jangan pernah menemui kemenakanku
itu!”
“Kenapa kau berkata seperti itu?” tanya
Abu Dzar Al Ghiffari.
Abu
Jahal menarik nafas sejenak. Ia memandangi wajah Abu Dzar dan kemudian berkata,
“Kautahu, Muhammad itu amat menarik. Ia
sangat mempesona. Sekali berjumpa dengannya, aku jamin kau pasti akan
benar-benar terpikat dengannya. Wajahnya bersih, perkataannya berisi mutiara
indah dan selalu benar. Perilakunya amat lembut, dan sopan membacakan wahyu,
semua kalimatnya menyentuh jiwa.”
Kali
ini Abu Dzar yang ganti memandangi wajah Abu Jahal dengan lekat. “Aku tidak mengerti. Tapi, apa itu berarti
kau yakin dia seorang Rasul.?”
Abu
Jahal mengangguk dengan tegas dan cepat. “Jelas.
Mustahil rasanya jika ia bukan seorang Rasul. Otaknya teramat pintar-bahkan
cerdas. Walaupun ia tidak bisa membaca ataupun menulis. Ia baik kepada semua
orang tua ataupun muda, budi pekerti dan akhlaknya sangat mulia. Satu hal lagi
yang perlu kauketahui, ia sangat tabah menghadapi apapun yang terjadi padanya.
Ia mempunyai daya tarik yang hebat sekali.”
“Aku tidak habis mengerti terhadapmu, Abu
Jahal sahabatku,” Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau bilang kau yakin bahwa kemenakanmu itu
adalah seorang Rasul.”
“Yakin betul. Aku tidak pernah meragukannya
sedikitpun.”
“Kau percaya bahwa ia benar?”
“Lebih dari sekadar percaya.”
“Tapi engkau melarangku untuk menemuinya?”
Abu
Jahal mengangkat bahunya. “Begitulah….”
“Lalu, apakah engkau mengikuti ajaran
agamanya?”
Abu
Jahal tampak menarik kedua alisnya. Roman mukanya berubah merah. “Ulangi sekali lagi pertanyaanmu…”
“Engkau mengikuti agamanya, menjadi pemeluk
Islam?” Abu Dzar kembali mengulangi perkataannya seperti yang diperintahkan
oleh Abu Jahal.
Kali
ini Abu Jahal begitu geram. “Sahabatku,”
ujarnya dengan nada suara yang tertahan, “Sampai
detik ini, dan nanti-nantinya aku adalah Abu jahal dan tetap Abu Jahal. Aku
bukan orang yang sinting. Otakku belum miring. Dibayar berapapun aku tidak akan
menjadi pengikut Muhammad.!!”
“Lho, tapi bukankah kau yakin Muhammad itu
benar?”
“Sahabatku, catat ini, walaupun aku yakin
bahwa Muhammad itu memang benar, aku tetap akan melawan Muhammad sampai
kapanpun jua. Sampai titik darah penghabisanku.” Abu Jahal menggerung.
“Apa sebabnya?”
“Kau tahu, sahabatku Abu Dzar Al Ghiffari,
jika aku menjadi pengikut kemenakanku sendiri, maka kedudukan dan wibawaku akan
hancur. Akan kuletakan di mana mukaku di hadapan bangsa Quraisy?”
Abu
Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya, “Pendirianmu
keliru, sahabatku.”
“Aku tahu aku memang keliru.”
“Engkau akan kalah kelak oleh kekeliruanmu itu.”
“Baik, biar saja aku kalah. Bahkan aku tahu
di akhirat kelak bakal dimasukkan ke dalam neraka jahim. Tapi aku tidak mau
dikalahkan Muhammad di dunia, walaupun di akhirat sana aku pasti dikalahkan.”
Sambil
berkata begitu, Abu Jahal beranjak meninggalkan Abu Dzar Al Ghiffari yang
terdiam. Tampaknya, Abu Dzar tidak habis mengerti betapa anehnya perilaku dan
sikap Abu Jahal itu dalam menerima kebenaran hanya karena berasal dari
kemenakannya sendiri.
sumber
: www.alhikmah.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar