"Bismillahiraahmanirrahim.., Perjuangan itu dirintis oleh orang-orang yg ALIM, diperjuangkn oleh orang-orang yg IKHLAS, dan dimenangkan oleh orang orang yang PEMBERANI.."

Suka Blog Ini..?

Kamis, 06 Juni 2013

Serdadu Kumbang dalam Perspektif Psikologi Sekolah (Bag 5/6)




Ah.., Alhamdulillah!! , setelah vakum sekian lama (untuk berpetualang & melanjutkan kuliah) akhirnya bisa ngeblog lagi, hehe.. Yah, paling tidak saya sadar satu hal, bahwa “aktivitas yang sudah lama terhenti, selalu butuh waktu & energi lagi untuk memulai kembali.” But don't worry, energy sudah full charge berkat film 1 Litre of Tears (ini film apaan cari sendiri ya^^), arigatoo!!

Oke, postingan kali ini saya ingin menyelesaikan analsisi film saya. Ya, ini adalah seri kelima atau analisis (ke 4) saya tentang film Serdadu Kumbang berkaitan dengan “ruangan kelas” berdasarkan perspektif psikologi sekolah. Yups, this is it..

Analisis 4
Ruangan  Kelas

Dengan sekilas, kita tahu bahwa ruangan kelas di sekolah Amek adalah jenis Lecture Style alias model tradisional. Model ini sudah popular sejak jaman baheula, bahkan kita pun pernah merasakannya, yakni model dimana anak-anak duduk dengan dua bangku atau lebih dalam satu meja yang berderet rapi dan simetris dari depan ke belakang.

Kendala kelas dengan model Lecture Style ini adalah siswa yang duduk di posisi paling belakang kesulitan mendengar perkataan guru yang ada di paling depan. Namun, saat kita lihat di kelas Amek yang begitu minim dengan jumlah murid dalam satu kelas (hanya terdiri dari tiga baris saja), sepertinya tidak akan terjadi sehingga boleh dikatakan faktor suara guru masih efektif untuk mengajar. Selain itu, kelemahan yang lain adalah bahwa siswa paling belakang berpotensi alias punya akses lebih untuk melakukan hal-hal yang sulit untuk dilakukan siswa di bangku terdepan seperti : tidur, ramai, mencontek, ngemil (makan), dan perilaku kurang baik lainnya.

Di sekolah Amek juga masih terkendala oleh fasilita-fasilitas di dalam ruangan kelas masih sangat minim. Kursi-kursi yang kerap patah juga hanya ditumpuk dikelas paling belakang sehingga membuat kelas yang sesungguhnya memang kecil menjadi terasa semakin sempit. Meja, kursi, serta papan tulis yang sudah terlihat using dan rusak juga mungkin mengganggu kegiatan belajar mengajar di kelas Amek.

seperti inilah ruang kelas Amek dan kawan-kawan..


Hal ini tentu berbeda dengan sekolah model Montessori (kebanyakan ada di negara modern) dimana kelas haruslah begitu luas dengan beragam perangkat yang komplit-plit termasuk dengan alat peraga sederhana dan mainan yang dapat memicu kreatifitas dan minat anak. Ruangan kelas model Montessori mungkin dianggap paling modern dan efektif saat ini. Di Indonesia pun mungkin baru sedikit (atau bahkan belum ada) sekolah yang menerapkan model seperti ini.

Tujuan dari model kelas Montessori  adalah agar anak mendapatkan sesuatu yang baru dari seolah. Saat anak hari ini mendapatkan sesuatu yang baru dan menyenangkan dari sekolahnya, maka anak akan sangat antusias untuk bersekolah di esok hari. Intinya adalah menjadikan sekolah sangat menyenangkan bagi peserta didik, bukan justru menjadi beban... Hingga saat anak-anak ini pulang sekolah, mereka dengan senyum bangga akan mengatakan kepada kita : “Bapak/Ibu, besok aku mau sekolah lagi.!!”

Okee, semoga kelak (dengan model kelas apapun) kita mampu mewujudkan sekolah yang menyenangkan sekaligus dapat memberikan pendidikan bagi generasi kita. Amin…amin…amin..!! (mohon doa & bantuannya.. ^^)


Alhamdulllah, demikian semoga bermanfaat, terusalah bermimpi, & mari menjadi pendidik yang baik, to be continued… 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar