Ah.., Alhamdulillah!! ,
setelah vakum sekian lama (untuk berpetualang & melanjutkan kuliah) akhirnya
bisa ngeblog lagi, hehe.. Yah, paling tidak saya sadar satu hal, bahwa “aktivitas yang sudah lama terhenti, selalu
butuh waktu & energi lagi untuk memulai kembali.” But don't worry, energy
sudah full charge berkat film 1 Litre of Tears (ini film apaan cari sendiri
ya^^), arigatoo!!
Oke, postingan kali ini
saya ingin menyelesaikan analsisi film saya. Ya, ini adalah seri kelima atau analisis
(ke 4) saya tentang film Serdadu Kumbang berkaitan dengan “ruangan kelas” berdasarkan
perspektif psikologi sekolah. Yups, this is it..
Analisis
4
Ruangan Kelas
Dengan sekilas, kita
tahu bahwa ruangan kelas di sekolah Amek adalah jenis Lecture Style alias model tradisional. Model ini sudah popular sejak
jaman baheula, bahkan kita pun pernah merasakannya, yakni model dimana anak-anak
duduk dengan dua bangku atau lebih dalam satu meja yang berderet rapi dan simetris dari
depan ke belakang.
Kendala kelas dengan
model Lecture Style ini adalah siswa
yang duduk di posisi paling belakang kesulitan mendengar perkataan guru yang
ada di paling depan. Namun, saat kita lihat di kelas Amek yang begitu minim dengan
jumlah murid dalam satu kelas (hanya terdiri dari tiga baris saja), sepertinya
tidak akan terjadi sehingga boleh dikatakan faktor suara guru masih efektif
untuk mengajar. Selain itu, kelemahan yang lain adalah bahwa siswa paling belakang berpotensi alias punya akses lebih untuk melakukan hal-hal yang sulit untuk dilakukan siswa di bangku terdepan seperti : tidur, ramai, mencontek, ngemil (makan), dan perilaku kurang baik lainnya.
Di sekolah Amek juga masih terkendala oleh fasilita-fasilitas di dalam ruangan kelas masih sangat minim. Kursi-kursi yang kerap
patah juga hanya ditumpuk dikelas paling belakang sehingga membuat kelas yang sesungguhnya
memang kecil menjadi terasa semakin sempit. Meja, kursi, serta papan tulis yang
sudah terlihat using dan rusak juga mungkin mengganggu kegiatan belajar
mengajar di kelas Amek.
seperti inilah ruang kelas Amek dan kawan-kawan..
Hal ini tentu berbeda
dengan sekolah model Montessori (kebanyakan
ada di negara modern) dimana kelas haruslah begitu luas dengan beragam perangkat
yang komplit-plit termasuk dengan alat peraga sederhana dan mainan yang dapat
memicu kreatifitas dan minat anak. Ruangan kelas model Montessori mungkin
dianggap paling modern dan efektif saat ini. Di Indonesia pun mungkin baru
sedikit (atau bahkan belum ada) sekolah yang menerapkan model seperti ini.
Tujuan dari model kelas
Montessori adalah agar anak mendapatkan
sesuatu yang baru dari seolah. Saat anak hari ini mendapatkan sesuatu yang baru
dan menyenangkan dari sekolahnya, maka anak akan sangat antusias untuk
bersekolah di esok hari. Intinya adalah menjadikan “sekolah
sangat menyenangkan bagi peserta didik, bukan justru menjadi beban..”. Hingga saat anak-anak
ini pulang sekolah, mereka dengan senyum bangga akan mengatakan kepada kita : “Bapak/Ibu,
besok aku mau sekolah lagi.!!”
Okee, semoga kelak (dengan
model kelas apapun) kita mampu mewujudkan sekolah yang menyenangkan sekaligus
dapat memberikan pendidikan bagi generasi kita. Amin…amin…amin..!! (mohon doa
& bantuannya.. ^^)
Alhamdulllah, demikian semoga
bermanfaat, terusalah bermimpi, & mari menjadi pendidik yang baik, to be continued…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar