menunduk khitmat saat ujian.. ^^
ADA KASUS...!!!?
Rabu 13 Juni 2012, seperti dikutip dari Daily Mail diberitakan bahwa seorang siswa yang
dirahasiakan identitasnya tengah kepergok sedang melirik jawaban dari kertas
contekan sepanjang 10 meter buatannya. Siswa ini melilitkan kertas tersebut ke
tubuhnya, dan menyembunyikannya di balik baju.
Terdapat lebih kurang 25.000 perkiraan jawaban ulangan dari beberapa
mata pelajaran, seperti matematika, sejarah, Bahasa Rusia, serta Bahasa
Kazakstan dalam kertas contekan. Menariknya, kertas contekan ini agaknya memang
dipersiapkan dengan matang karena semua jawabannya diketik dengan rapi.
Juru bicara otoritas pendidikan Kazakstan, Bolatzhan
Uskenbayev, menyayangkan peristiwa ini. "Jika saja niat belajarnya sebesar niatnya menggarap kertas contekan,
dia akan mampu mengerjakan ulangan dengan lebih terhormat," kata dia. Siswa
ini pun harus menanggung akibat perbuatan curangnya yang gagal total. Dia tidak
akan mendapat ijazah SMA karena pihak sekolah sudah memutuskan untuk
mendepaknya.
Hal ini tentu berbeda dengan kasus yang terjadi di
Indonesia, di mana seperti dikutip dari harian Republika 17 Juni 2011 yang
memberitakan bahwa terdapat sekolah yang mengkoordinasi murid-muridnya agar
mereka saling membantu pada saat mengerjakan ujian nasional (UN), yang notabene
nya adalah ujian untuk menentukan kelulusan siswa. Orang tua dari salah seorang
murid yang diminta pihak sekolah untuk “membantu” teman-temannya saat ujian
kemudian mengungkapkan kasus ini di media meskipun pada akhirnya ia justru ditutut pihak sekolah karena dianggap
mencemarkan nama baik sekolah. Selain kasus tersebut, juga terdapat kasus
pembatalana hasil ujian di salah satu SLTA di Indonesia dikarenakan jawaban
pada seluruh kertas ujian siswa sama semua, sehingga semua murid harus
mengulang kembali ujian untuk ke dua kalinya.
ANALISIS--NYA...?
Dalam kasus-kasus yang terjadi di Indonesia di atas
merupakan cerminan bahwa mencontek terlebih dilakukan secara massal atau berjama’ah, merupakan suatu budaya yang
sudah mengakar bahkan sejak sekolah dasar. Hal ini semakin kuat karena diduga
sekolah turut andil dalam melegalkan serta menyuburkan budaya tersebut. Artinya
sekolah tidak melarang murid-muridnya untuk mencontek dan justru
menganjurkannya. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan budaya pendidikan
yang saat ini sedang digodok matang-matang yaitu pendidikan karakter.
Jika kita bandingkan dengan kasus yang terjadi di Kazakstan
sebelumnya, maka sungguh terdapat perbedaan yang sangat signifikan tentang pola
didik maupun sistem pendidikan antara Indonesia dan sekolah manca negara.
Kazakstan, begitu tegas terhadap murid yang ketahuan mencontek yakni dengan
memberi hukuman bahkan tak segan-segan mengeluarkan dari sekolah siswa yang
mencontek. Sedangkan mayoritas di Indonesia, siswa yang ketahuan mencontek terutama
pada momen-momen menentukan seperti Ujian Nasional (UN) terkadang lebih sering
dibiarkan saja bahkan seakan-akan difasilitasi oleh sekolah.
Apabila kita analisis lebih jauh, siswa di Kazakstan
mencontek mungkin karena merasa kurang
mampu dalam hal akademik dibanding teman-temannya, sehingga ia terpaksa
melakukan perilaku tersebut. Sedangkan di Indonesia, karena mencontek memang sudah
menjadi budaya dan kebiasaan, maka siswa yang mungkin memiliki kemampuan akademik
untuk bisa menjawab soal sendiri, akhirnya hanya bisa memodel atau mengikuti kebiasaan murid-murid yang lain untuk
mencontek sehingga potensi siswa yang sebenarnya tidak terlihat.
Lebih jauh, hal ini juga berdampak pada prinsip kepercayaan
diri serta kejujuran yang merupakan bentuk life
skill yang wajib dimiliki peserta didik. Sudah menjadi tugas guru sebagai
pendidik untuk tidak hanya memberikan skill-skill akademik, namun juga life
skill kepada murid-muridnya. Jika prinsip kepercayaan diri dan kejujuran sejak
dini sudah sangat rendah, maka akan sangat mengkhawatirkan bagaimana masa depan
peserta didik kelak. Bisa jadi di masa depan anak akan terlalu bergantung
kepada orang lain, ataupun menjadi peribadi yang menjadikan perilaku berbohong
sebagai hal yang biasa saja. Maka tidak salah apabila plagiat atau mencontek
merupakan akar dari budaya korupsi.
Dampak dari perilaku plagiat / budaya mencontek ini tentu
tidak sekedar berhenti setelah anak menjalani ujian saja. Karena sudah menjadi
budaya atau kebiasaan, maka hal ini akan berdampak pada masa depan anak
terutama saat ia kuliah kelak. Hal inilah, seperti dikutip dari Jawa Pos 22
Februari 2012, yang menjadikan Dikti mengeluarkan surat edaran (SE) tentang
kewajiban calon sarjana mempublikasikan karya ilmiahnya dalam jurnal ilmiah.
Hal ini dilakukan demi mengantisipasi terjadinya plagiat karya ilmiah di
kalangan mahasiswa. Hal ini juga
menuntut Universitas mampu menyiapkan software canggih yang bisa mendeteksi
karya ilmiah yang masuk sebelum dibuat dalam jurnal ilmiah. Universitas of New
England (UNE) di Australia dalam hal ini telah menerapkannya sehingga setiap
ada karya ilmiah mahasiswa yang
terdeteksi plagiasi minimal 10 % wajib melakukan revisi sebelum di upload di
Jurnal Ilmiah.
jawaban ne opo mas bro..??? aq puyeng kie.!!
Sanksi terhadap pelaku plagiat pun juga berpengaruh. Harvard
University di Boston pernah menskors 60 mahasiswanya karena ketahuan mencontek
pada saat ujian, dan ini menjadi skandal akademik terbesar dan memalukan yang
pernah terjadi di Harvard. Senada dengan hal tersebut, di Australia pernah
terjadi kasus pemecatan seorang doctor dikarenakan terbukti melakukan
plagiarisme. Dalam dua kasus di atas jelas bahwa tindakan plagiat di lembaga
pendidikan Internasional tampaknya sudah menjadi suatu tindak kejahatan yang
tidak bisa diampuni sehingga pelakunya
harus segera ditindak tegas. Sedangkan di Indonesia sungguh sangat
kontras. Seringkali sekolah ataupun universitas kurang mampu menindak secara tegas
siswa / mahasiswa yang terbukti melakukan plagiat atau mencontek mungkin dengan alasan karena dapat
merusak citra baik sekolah yang bersangkutan.
SO, KESIMPULAN--NYA..??
Berdasarkan pembahasan
di atas, maka sekolah ataupun universitas (termasuk para guru ataupun dosen)
yang menganggap remeh-temeh budaya
mencontek tampaknya harus segera berbenah untuk memikirkan kembali bagaimana masa
depan anak didiknya kelak. Jika teorinya adalah : anak yang sejak dini terbiasa mencontek besarnya bisa menjadi koruptor,
|| maka para pendidik juga perlu yakin bahwa jika anak sejak dini sudah dibiasakan
untuk jujur maka besarnya ia kan menjadi orang teguh memegang amanah. Tentu
hal ini bukan semata untuk masa depan anak didik saja. Lebih jauh hal ini
adalah demi bangsa dan negara, karena mau tidak mau anak-anak itulah yang kelak akan
menggantikan kita mengelola bangsa dan negara ini. Wallahua’lam bi shawab..
sumber : Tugas I Psikologi Sekolah UMS_MRezaPutra_f100104016_2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar