Ya Allah,
sesungguhnya Kau
uji aku dengan nikmat-nikmat
Lalu aku
bersyukur
Itu lebih aku
sukai,
daripada Kau uji
aku dengan musibah-musibah
Lalu akau harus
bersabar
--Abu Darda’,
Radhiyallhu ‘Anhu--
Jika kita ditimpa
musibah atau dikaruniai nikmat, maka menisbatkannya kepada takdir dan ketetapan
Allah adalah hal yang baik. Minimal, tidak masalah. Pada nikmat-nikmat itu kita
berucap “Alhamdulillah”. Dan atau
menambahkan “Jazakumullahu khairan”,
ketika ada peran sesame di dalamnya.
Pada musibah-musibah
itu kita berucap, “Innalillahi wa inna
ilaihi raaji’un”. Tambahkan, semisal ada yang menyergah, “Semisal kalau kamu hati-hati, kamu oasti
nggak jatuh!”, kita akan menjawab, “Iya,
maaf. Saya memang kurang hati-hati. Tapi ini sudah ketentuan Allah kok.”
Jawaban ini akan menjauhkan kita dari sesal kemudian yang tak berguna. Terlebih
lagi, kita harus menutup “Seandainya” atau “Kalau saja”, agar tak menjadi
gerbang hati penyambut syaithan.
Sebailknya, menisbatkan
maksiat kepada takdir adalah perkara
yang terlarang. Adalah seorang santri suatu malam memanjat pohon rambutan di
depan rumah Ustadznya. Dan ia membawa karung. Diunduhnya semua yang terjangkau
oleh tangannya. Akhirnya santri-santri sekompleksnya pun kenyang rambutan malam
itu. Keesokan harinya, tanpa penyellidikan yang muluk-muluk, para santri yang
tidak kebagian rambutan sudah menunjukkan tersangkanya pada Ustadz.
Sang guru bertanya, “Mengapa kau curi rambutan?”
“Takdir Ustadz..”
Sang Ustadz menjewer
telinga santrinya, memuntirnya, sampai tubuh bersarung itu terpuntir-puntir
mengikuti telinganya.
“Adao.. Sakit Ustadz. Kok saya dihukum? Padahal saya mencuri itu kan
sudah menjadi takdir Allah?”
“Lho, jeweran ini juga takdir kan?”
Begitulah takdir. Hanya
disebut begitu ketika sudah terjadi. Tapi dalam hal berbuat maksiat, janganlah
kita menisbat. Karena selalu ada ruang di antara rangsangan dan tanggapan. Dan
ruang itu berisi pilihan-pilihan. Maka itulah gunanya misteri takdir. Agar kita
memilih di antara bermacam tawaran. Untuk menyusun cita dan rencana. Lalu
bertindah dengan prinsip indah, “Kita bisa lari dari takdir Allah yang satu
ke takdir Allah yang lain, dengan takdir Allah pula.”
sumber :
JalanCintaParaPejuang_SalimAFillah_ProUMedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar