Definisi keterampilan sosial
Ketrampilan
sosial meliputi ketrampilan-ketrampilan memberikan pujian, mengeluh karena
tidak setuju terhadap sesuatu hal, menolak permintaan orang lain, tukar
pengalaman, menuntut hak pribadi, memberi saran kepada orang lain, pemecahan
konflik atau masalah, berhubungan atau bekerja sama dengan orang lain yang
berlainan jenis kelamin, berhubungan dengan orang yang lebih tua dan lebih
tinggi statusnya, dan beberapa tingkah laku lain sesuai dengan ketrampilan yang
tidak dimiliki oleh klien (Michelson, dkk. 1985). Pelatihan ketrampilan sosial
ini diberikan berdasarkan tingkah laku apa saja yang akan diubah dari individu
yang bersangkutan (Bulkeley dan Cramer, 1990).
Ketrampilan sosial
merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki sejak dini agar individu tersebut
sebagai makhluk sosial yang selalu terus menerus berinteraksi. Ketrampilan
sosial ini tidaklah terbentuk secara tiba-tiba, namun merupakan imitasi dan
pembiasaan dari lingkungan terdekat anak. ketrampilan sosial perlu dibiasakan
sejak dini karena anak akan membawa kebisaannya tersebut hingga dewasa.
Ada banyak pelatihan
ketrampilan psikologik yang dikemukakan oleh Goldstein (1981), yaitu pelatihan
pemecahan masalah yang kreatif, pelatihan asertivitas, pelatihan wawancara
pekerjaan, dan pelatihan ketrampilan sosial. Pada prinsipnya pelatihan
ketrampilan psikologik ini dapat dilaksanakan melalui 4 tahap, yaitu:
(1) Modelling,
yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan secara spesifik,
detil, dan sering.
(2) Role playing,
yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat kesempatan untuk
memerankan suatu interaksi sosial yang sering dialami sesuai dengan topik
interaksi yang diperankan model.
(3) Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan bahk. Umpan balik ini harus
diberikan segera setelah peserta pelatihan mencoba agar mereka yang memerankan
tahu seberapa baik ia menjalankan langkah-langkah pelatihan ini.
(4) Transfer
training, yaitu tahap pemindahan
ketrampilan yang diperoleh individu selama pelatihan ke dalam kehidupan
sehari-hari.
Pelatihan
ketrampilan sosial untuk terapi kesulitan bergaul
Pelatihan
ketrampilan sosial diberikan kepada individu yang mengalami kelemahan dalam
beberapa ketrampilan sosial. Ketrampilan sosial yang sering dikeluhkan individu
antara lain tidak mampu melakukan komunikasi dengan baik, tidak memiliki
ketrampilan sosial, baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu
Michelson, dkk. (1985) mengemukakan bahwa pelatihan ketrampilan sosial
dirancang untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan sosial
individu.
Sebagaimana
pelatihan-pelatihan ketrampilan psikologik lainnya, pelatihan ketrampilan
sosial mulai dikembangkan pada awal tahun 1970-an. Pendekatan ini ber-anggapan
bahwa individu berada dalam 'masa belajar' dan bukan sebagai klien yang
membutuhkan terapi. Pelatihan ini dilakukan berdasarkan anggapan bahwa yang
dihadapi adalah seorang yang kekurangan dan kemampuan yang lemah, padahal
kemampuan ini dibutuhkan untuk dapat hidup secara efektif dan memuaskan.
Dalam pelatihan ketrampilan
sosial disajikan beberapa model atau contoh tingkah Iaku. Subjek atau klien
diminta untuk mengobservasi, kemudian menirukan tingkah laku tersebut. Jadi
dalam pelatihan ketrampilan sosial terkandung prinsip-prinsip belajar sosial
seperti yang dikemukakan Bandura (dalam Hergenhahn, 1976). Individu melihat,
mengobservasi, kemudian menirukan tingkah laku yang diajarkan tersebut. Apabila
individu berhasil menirukan tingkah laku tersebut, pelatih akan memberikan
pengukuh.
Tugas pelatih dalam
pelatihan ini bukanlah membuat interpretasi, refleksi atau memberikan satu
pengukuhan saja, tetapi secara aktif pelatih sengaja mengajarkan peri-laku yang
diinginkan. Pelatih bukan melakukan intervensi seperti dalam melakukan
psikoterapi, tetapi cenderung pada pelatihan. Arah pelatihan ketrampilan ini
tertuju pada mengajarkan perilaku yang spesifik, bukan nilai, sikap, ataupun
insight dan merupakan pendekatan perilaku yang dirancang untuk mengembangkan
tindakan yang terlihat.
Selama kurang lebih
lima tahun sejak tahun 1957 Suchman, (Rowe, 1978) yang sudah mempelajari sikap
inkuiri pada siswa sekolah dasar menyatakan bahwa siswa tidak terbiasa mendapat latihan mengajukan
pertanyaan, dan jika mengajukan pertanyaan biasanya cenderung kurang berindikasi
untuk menyelidiki. Selama ini pertanyaan
siswa tidak saling berkaitan dan siswa sangat jarang dapat mengemukakan
gagasannya (Rowe, 1978).
Menurut Abimanyu
(Marli, 2002) ada beberapa faktor yang menyebabkan siswa kurang berani
mengajukan pertanyaan pada saat
berlangsung pembelajaran :
>>Pertama,
telah berakarnya kebiasaan mengajar dengan menggunakan metode berceramah
sehingga guru terlalu dominan dan tidak memberi kesempatan kepada siswa untuk
berpartisipasi.
>>Kedua,
latar belakang kehidupan siswa dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat yang tidak terbiasa mengajukan pertanyaan
dan gagasan.
>>Ketiga,
adanya perasaan sungkan bertanya balik terhadap guru maupun teman.
>>Keempat,
siswa tidak menguasai materi sehingga tidak tahu apa yang harus ditanyakan.
>>Kelima,
siswa takut salah dan takut ditertawakan oleh teman. Padahal menurut Dahar
(1978), dalam proses belajar mengajar pada umumnya pertanyaan mempunyai peranan
yang sangat penting. Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh siswa dapat
diketahui sejauh mana siswa itu berpikir
dan menurut Rustaman (2002) pertanyaan dalam pembelajaran akan meningkatkan kualitas pembelajaran.
Daftar pustaka :
Anggraeni, Sulistyowati. 2008. Pengaruh Pelatihan Ketrampilan Sosial
Menggunakan Metode Stop Think Do terhadap Penyesuaian Sosial Anak Sekolah
Dasar. Vol. 2 No. 1.