by : Halley–Psikolog
Perang Uhud
adalah perang di mana kaum
muslimin mengalami kekalahan. Yang menarik adalah situasi sebelum terjadinya
perperangan. Kita semua tahu kalau Perang Uhud merupakan ajang balas dendam kaum musyrikin.
Pada saat mendapat kabar berperang dari
kaum musyrikin, sebenarnya Rasulullah menginginkan bertahan saja di Madinah.
Namun bukanlah seorang Leader bila
keputusan yang diambil bukan keputusan dengan musyawarah. Pada saat disampaikan
kepada sahabat lainnya, ternyata mereka lebih memilih menyerang. Memang
semangat para sahabat luar biasa untuk berperang karena kebanyakan mereka
adalah anak muda yang bukan alumni Badar. Mereka ingin merasakan pertempuran layaknya
Perang Badar. Dikarenakan banyak yang menginginkan keluar berperang, akhirnya
Rasulullah SAW menyutujui untuk keluar kota Madinah. Keputusan sudah
diambil. Akhirnya terjadilah pertempuran.
Kita semua tahu
bagaimana kesudahannya. Kaum Muslimin mengalami kekalahan. Kalah menang
dalam sebuah pertempuran adalah hal yang biasa. Yang luar biasa adalah bagaimana sikap Rasulullah
menghadapi situasi yang terjadi. Rasulullah saat itu tidak mengungkit-ungkit
bagaimana pendapatnya dulu tidak disetujui oleh para sahabat. Bahasa pasarnya,
sering kita dengar bila pendapatnya tidak diikuti dengan ungkapan “Apa gue bilang, mestinya bertahan saja. Coba kalau tidak maju perang,
nggak bakalan seperti ini jadinya”. Ini kalimat yang keluar bagi
orang-orang yang melempar kesalahan pada orang lain. Ini kalimat yang biasa keluar
dari mulut-mulut orang munafik.
Rasulullah SAW sebagai
orang yang dididik dengan kejujuran dan disiapkan Allah SWT sebagai seorang Leader bagi makhluk di bumi ini pantang
bersikap seperti cuci tangan begitu. Dia tunjukkan ke-Leader-annya dengan memberi support dan motivasi kepada sahabat agar
tetap bertahan dan berjuang.
Kisah ini memberikan
pelajaran dan hikmah kepada kita dalam hidup ini. Sikap yang tidak pantas
dilakukan dengan mengatakan bahwa “makanya
apa saya bilang, mestinya begini......begitu......., coba kalau mengikuti apa
kata saya kan tidak akan seperti ini jadinya,..” sering kita dengar kalimat
ini bagi sebagian orang yang kurang mengerti kejiwaan manusia. Bahkan tidak
sedikit dari orang yang merasa punya ilmu kejiwaan, tapi tidak mampu menghiasinya
dalam perilaku sehari-harinya. Seolah-olah ilmu psikologi ini hanya buat orang
lain, tidak untuk dirinya sendiri.
Mengungkit-ungkit
kesalahan masa lalu akan membuat seseorang merasa “Guilty Feeling”. Perasaan selalu merasa bersalah. Puaskah kita pada saat
orang yang kita tuding-tuding berbuat kesalahan tersebut akhirnya merasa
bersalah, sehingga dengan kepala tertunduk meminta maaf, dan bahkan tidak kuat menatap
wajah kita? Inilah yang harus dijadikan pelajaran.
Sebagai sarana
muhasabah mungkin kita perlu menjawab pertanyaan ini didalam hati. “Sudah berapa kali-kah kita membuat bawahan
kita di kantor merasa ‘Guilty Feeling’ di saat hasil pekerjaannya kurang
memuaskan?” “Seberapa sering kah kita
melontarkan kalimat kepada anak kita -Makanya belajar yang rajin!. Coba kamu
ikuti apa kata Bapak/Ibu, tentu kamu tidak mendapatkan nilai yang jelek itu. Coba
kamu pilih jurusan yang Bapak/Ibu bilang tentu kamu bla..bla..bla..”, seolah
– olah apa yang kita katakan adalah yang paling benar.
Adakah dari Anda yang merasa
PUAS membuat bawahan, atau anak-anak Anda, atau teman-teman merasa bersalah
dengan apa yang dilakukan? Kalau “ya” jawabannya, berarti mungkin Anda termasuk orang
yang sedang sakit jiwa.
Wallahua'lam..
sumber : http://www.pkspiyungan.org/2014/06/perang-uhud-guilty-feeling.html
(dg sedikit polesan ^^)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar