Saya
pernah bertanya pada seorang remaja yang saya kenal sangat rajin beribadah.
Pertanyaan saya cukup sederhana, “Teman-teman
mu pada kemana tho ini? Kok sekarang pada jarang banget ke masjid ya. Ndak kamu
ajak? lewat SMS, WA, atau BBM gitu?”
Jawaban
si remaja tadi cukup mengejutkan, “Ndak
pernah mas. Lagian buat apa? Mereka kan sudah pada gedhe/dewasa. Suatu saat
mereka juga bakalan berangkat sendiri, ndak perlu lah diajak-ajak gitu. Kalau
ngajak itu yang jelas-jelas mau ke masjid”.
Wow,
jujur saja saya sangat kaget dengan jawaban tadi. Se-individual inikah dia? Tidak
inginkah ia melihat teman-temannya bisa rajin beribadah seperti dirinya? Apakah
kebanyakan remaja juga akan menjawab seperti itu?
Untuk
pertanyaan terakhir Alhamdulillah tidak terjadi. Saya masih mendapati ada 1-2 remaja
yang rela mendatangi kediaman temannya dan mengajaknya ke masjid. Saya sangat
bangga dengan hal ini ^_^
Di
waktu yang lain, saya juga pernah meminta tolong ke seseorang yang saya anggap
dihormati, disegani, juga termasuk ahli ibadah. Saat itu ada masalah pada
beberapa murid TPQ yang sulit untuk saya selesaikan.
Saat
saya meminta tolong, beginilah jawaban beliau : “Wah kalau seperti ini ya susah. Kita itu tidak punya hak untuk ngasih
tau mereka (anak-anak TPQ ini). Toh mereka juga bukan anak kita, mereka punya
orangtua yang harusnya lebih berhak ngasih mereka nasehat.”
Wow.. wow..!! Lagi-lagi saya dibikin kaget dengan jawaban yang
saya terima. Kok hampir mirip dengan remaja di atas tadi ya? Saya jadi
kepikiran, kalau mereka yang rajin ibadah saja acuh seperti itu, bagaimana
yang tidak?
Jujur, kejadian tadi sukses membuat saya bingung luar biasa. Di
saat hati nurani saya ingin mengajak orang lain baik, kemudian meminta tolong
pada orang yang saya anggap mampu, ternyata jawaban mereka menjadikan
seakan-akan kekhawatiran saya tidaklah berarti. Seakan hati nurani saya telah
salah dalam merasa & mengambil keputusan.
Kegundahan
hati saya ini membawa saya untuk bertanya pada guru ngaji saya, sekaligus senior
yang selama ini mengajari saya dalam hal membina remaja masjid.
Dengan
mantap dan sederhana beliau menjelaskan kepada saya :
“Kalau kamu bertanya
pada orang yang tidak pernah bersentuhan langsung dengan dakwah, wajar kalau
jawabannya seperti itu. Kita berdakwah, ngajar TPQ dan segala macam, itu
artinya kita berkurban, waktu, tenaga, dan seluruhnya. Kita berdakwah, itu
artinya kita harus rela memikirkan sesuatu yang seringkali orang tidak peduli
dengan hal tersebut. Maka kalau ada yang bilang dakwah itu berat ya memang
benar. Saat ada orang lain melakukan hal yang tidak baik, orang yang tidak
paham dakwah meskipun dia baik dan rajin ibadah, otomatis dia pasti hanya akan
acuh saja. Sedang orang yang paham dengan dakwah, kalau melihat orang lain
melakukan hak yang tidak baik yang ada dipikirannya hanya satu, yakni mencari
cara bagaimana menjadikan orang ini kembali ke jalan yang benar. Di situlah
letak bedanya, ada pada rasa peka & rasa pedulinya kepada orang lain.”
Alhamdulillah
jawaban ini kembali menentramkan hati saya, dan saya belajar bahwa tak semua
orang muslim mau berdakwah atau menjadi da’i. Ada yang menjadi da’i hanya untuk
diri sendiri, atau keluarganya. Ada pula yang mau menjadi da’i untuk diri,
keluarga, serta masyarakat luas. Bahkan ada juga golongan orang muslim yang
tidak menjadi da’i, baik bagi dirinya sendiri apalagi untuk orang lain.
So.,
akhirnya posisi saya saat ini
menjadikan saya bersyukur luar biasa. Setidaknya saya bersyukur masih memiliki
rasa peduli dan empati terhadap orang lain. Saya ingin melihat orang lain baik,
saya ingin melihat anak-anak & remaja di masjid saya pada rajin sholat,
bisa mengaji Al-Quran dengan baik. Sungguh, (asalkan) bisa melihat itu semua rasanya
sangat bangga dan bahagia. (^_^)